Pentingnya Sensus Jemaat
Bahan Khotbah Ibadah Minggu
15 Maret 2020
Oleh: Pdt. Cindy Tumbelaka, MA
Pengantar
Kitab Bilangan memiliki dua judul
dalam bahasa yang berbeda. Dalam bahasa
Ibrani, kitab ini bernama “Bar-nidbar” yang berarti Di Padang Gurun karena
kitab ini mencatat firman TUHAN kepada bangsa Israel selama di padang gurun,
sekeluarnya mereka dari Mesir (1:1, di ambil dari kalimat pertama: TUHAN
berfirman kepada Musa di padang gurun Sinai). Judul lain dari kitab ini adalah
“Arithmoi” dalam bahasa Yunani (berdasarkan Septuaginta: Kitab Ibrani yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani), yang berarti “Bilangan.” Judul ini
diberikan ber-dasarkan isi kitab yaitu pencatatan jumlah dalam angka (bilangan)
suku-suku Israel.
Pemahaman
Teks
Ay. 1 Adalah keterangan
surat: yaitu berdasarkan Firman TUHAN kepada Musa di dalam kemah pertemuan,
pada tanggal 1 bulan 2 tahun kedua, sesudah keluar dari Mesir.
Dengan demikian, sensus pertama ini terjadi
setelah umat Israel dua tahun berada di padang gurun.
Ay. 2-3 TUHAN memerintahkan
Musa untuk menghitung jumlah segenap umat
Israel menurut kaum-kaum yang ada dalam setiap suku mereka, khusus-nya yang
laki-laki berumur dua puluh tahun ke atas dan yang sanggup berperang
untuk dijadikan pemimpin yang mewakili sukunya (1:2). Dari kriteria ini,
jelaslah bahwa maksud penghitungan ini adalah untuk mempersiapkan pasukan
karena mereka akan berperang, hampir di setiap daerah yang akan mereka lalui
bahkan sampai masuknya bangsa Israel ke tanah Kanaan-pun, mereka masih harus
merebutnya dari penduduk asli.
Ay. 4-16 Dari setiap suku
Israel (yang berjumlah 12), harus ada satu orang untuk mendampingi Musa, yakni
setiap kepala suku/ kepala pasukan (ay. 16). Ay. 5-15 adalah daftar nama-nama
mereka berdasarkan suku yang diwakili.
Ay. 17-19 Musa melakukan tepat seperti
yang diperintahkan TUHAN, yaitu mencatat mereka di padang gurung Sinai.
Ay. 20-21 Dari bani Ruben (anak sulung
Yakub = Israel), ada 46.500 orang laki-laki yang berumur di atas 20 tahun dan
yang sanggup berperang.
Ay. 22-23 Bani Simeon ada 59.300 orang
Ay. 24-25 Bani Gad ada 45. 600 orang
Ay. 26-27 Bani Yehuda ada 74.600 orang
Sebagai
tambahan, total semua laki-laki Israel yang berumur 20
tahun ke atas dan yang sanggup berperang ada 603.550 orang (1:44-46). Penghitungan
ini tidak termasuk suku Lewi karena suku Lewi dikhususkan untuk mengawasi Kemah
Suci, bukan untuk ikut berperang (1:47-50). Suku Lewi bertugas untuk mengangkat
Kemah Suci dengan segala perabotannya, karena pekerjaan itu tidak boleh
dilakukan oleh orang awam (1:50-51).
Renungan dan Penerapan
Penghitungan
ini jelas dimaksudkan untuk menghitung kekuatan (bakal) pasukan Israel sehingga
tidak termasuk di dalamnya perempuan dan anak-anak (sebagaimana sensus penduduk
pada umumnya). Pada satu sisi, sangat mungkin ada laki-laki di atas umur 20
tahun yang tidak mampu berperang sehingga tidak masuk hitungan. Ini berarti,
jumlah bangsa Israel yang keluar dari Mesir saat itu, jauh lebih banyak dari
jumlah 603.550 orang yang dicatat ini.
TUHAN
memandang sangat penting bagi Musa (dan Harun) untuk menghitung berapa
sebenarnya jumlah kekuatan yang mereka miliki untuk berperang. Karena itu,
TUHAN memerintahkan Musa untuk menghitung orang demi orang (ay. 3) bukan
sekadar perkiraan, padahal, penghitungan zaman itu jelas memakai metode manual.
Tidak hanya itu, orang demi orang harus diperiksa supaya dapat dikatakan mampu
berperang. Pekerjaan menghitung
seperti ini tidaklah mudah, sebab jumlah orang tidak sedikit, apalagi harus
memenuhi kriteri khusus yakni berumur 20 tahun – laki2 – mampu berperang.
Ketekunan
untuk menghitung orang demi orang dan kejujuran untuk menilai kemampuan
seseorang adalah hal yang seringkali diabaikan ketika kita merancang kegiatan
gereja (bukan untuk berperang seperti pada zaman itu). Gereja semangat untuk
membangun dan melakukan berbagai program namun jika tidak dimulai dari
penghitungan ‘orang demi orang’ melainkan menghitung berdasarkan perkiraan (dan
harapan) maka dalam pelaksanaan-nya, pembangunan maupun kegiatan gereja akan
lebih banyak dan sering mengalami masalah, seperti kekurangan dana maupun
sumber daya. Tuhan Yesus sendiri mengajarkan kita:
“… kalau mau mendirikan sebuah menara … duduk dahulu membuat anggaran
biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya … jangan semua orang yang melihatnya,
mengejek dia, …: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup
menyelesaikan-nya (Luk 14:28-30).
Jadi,
kelalaian gereja menghitung kekuatan dengan jujur adalah awal mula terjadinya
pencarian dana yang terkesan memaksa (bukan lagi sukarela), acara maupun
pengadaan bahan bangunan yang seadanya, bisa juga terjadi pemborosan, pekerjaan
yang berlarut-larut bahkan ada yang tidak
selesai atau mangkrak atau (jika pelayanan) tidak sesuai
harapan.
Setelah kita
menghitung kekuatan, TUHAN mengajarkan kita untuk mampu mengartikan
bilangan-bilangan itu (= menganalisa data). Sebenarnya, menghitung merupakan
hal yang tidak terlalu sulit selama kita tekun dan teliti. Yang lebih sulit lagi adalah membaca (=
menganalisa) apa yang sebenarnya terjadi di balik data/ bilangan-bilangan yang
terkumpul, mis: apa yang membuat jumlah peserta ibadah/ kegiatan tidak sebanyak
dengan jumlah jemaat yang terdaftar? Apakah karena waktu pelaksanaan yang tidak
tepat atau kegiatan yang tidak menarik? Apa yang membuat jumlah persembahan
jauh lebih sedikit dibanding peserta yang hadir? Apakah kemampuan memberi yang
lemah atau peserta ibadah bukanlah yang masih produktif (kebanyakan lansia dan
anak-anak)? Pada umumnya, gereja suka mengumpulkan data dan mewajibkan laporan
dari semua kegiatan namun tidak mampu membaca apa yang sebenarnya terjadi di
balik data dan laporan. Padahal, Yesus
juga memberi gambaran bahwa kalau mau pergi berperang … raja … duduk dahulu
untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi
lawan … Jikalau tidak, ia akan mengirim
utusan … untuk menanyakan syarat-syarat perdamaian (Luk
14:31-32). Kemampuan kita membaca = menganalisa data dan laporan sangat
menentukan langkah yang akan diambil berikut.
Mendarat pada tema di minggu
Prapaskah, kita diajar untuk mengevaluasi penderitaan yang kita alami, baik
sebagai pribadi, keluarga, gereja bahkan masyarakat berdasarkan kejujuran
mengukur kemampuan diri. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, penderitaan
yang kita alami, bisa jadi karena kita “lebih besar pasak (= pengeluaran)
daripada tiang (= pemasukan)” dan terbuai dengan harapan yang tidak masuk
akal. Dalam memberi tugas dan tanggung
jawab kepada kita, Allah pun mengukur.
Kata Paulus: “pencobaan yang kita alami tidak melebihi kekuatan
manusia ataupun melampaui kekuatan” (1Kor 10:13). Tetapi
kalau ternyata kita jatuh terpuruk, saatnyalah kita mengevaluasi diri: adakah
kita yang tidak jujur menilai diri dan kemampuan kita.
No comments:
Post a Comment