1
SAMUEL 12:1-7
ESTAFET
KEPEMIMPINAN
Bahan Khotbah Ibadah Minggu
15 SEPTEMBER 2019
P E N D A H U L U A N
Seorang pemimpin yang baik
bukan saja suskes melaksanakan tangung-jawab kepemimpinannya, melainkan juga
mampu menyiapkan proses peralihan tampuk kepemimpinan dari dirinya sendiri
kepada orang lain. Paling tidak inilah yang terjadi dalam bacaan kita ini.
Suksesi kepemimpinan di Israel
ini bermula dari keinginan umat Israel untuk dipimpin oleh seorang raja. Mengapa
mereka menginginkannya. Alasannya dapat kita temukan pada 8:1-5,yakni:
1.
Samuel telah berusia lanjut (ay.1)
2.
Samuel menunjuk anak-anaknya, Yoel dan Abia
menggantikan dirinya namun prilaku anak-anaknya tidak benar, korup dan
memutarbalikkan keadilan (ay.2,3)
3.
Israel ingin seperti bangsa-bangsa lain yang memiliki
raja yang kelihatan dan tidak seperti Allah yang tidak terlihat (ay.5).
Menarik sekali bahw apenolakan
kepada Samuel dan permintaan mendapatkan raja yang dituntut oleh orang Israel
itu bukan sesungguhnya menolak Samuel. TUHAN, Allah Israel menyampaikan kepada
Samuel bahwa tindakan mereka adalah menolak
AKU (8:7). Silakan bayangkan, bahwa Allah ditolak mereka sebagai raja. Maka
sistem pemerintahan Teokrasi (dipimpin oleh Allah) berubah menjadi Monarki
(dipimpin oleh raja).
EXEGESE
TEKS (Uraian Perikop)
Arti
nama Samuel berasal dari bahasa Ibrani שְׁמוּאֵל (BACA: Shemu’el) yang berarti namanya adalah Allah. Beberapa
catatan penting di dalam Alkitab tentang Samuel sangat menarik. Ia disebut
sebagai hakim terakhir dan juga terbesar (Kis.13:20), ia disebut
sebagai nabi pertama di Israel (Kis.3:24), dan dianggap sebagai tokoh yang
terbesar dan paling dihormati setelah Musa ketika TUHAN menyebut dua nama ini (Yer.15:1).
Pada perikop ini, Samuel mohon diri kepada Israel dan pamit, setelah selesai
melaksanakan suksesi tersebut. Terdapat beberapa catatan penting dalam perikop
ini, yakni:
1. Dua Kali Suksesi?
Kesan yang kita dapatkan jika membaca pasal 8 setelah Saul di urapi
menjadi raja, bukankah suksesi sudah terjadi? Mengapa saat itu Samuel tidak
langsung pamit? Bahkan jika membaca pada ayat 2 kita menemukan bahwa Samuel
mengakui Saul sebagai penggantinya, namun juga menyebut anak-anaknya yang meneruskan
tanggung jawabnya?
Ternyata kita harus membedakan antara kepemimpinan Politik dan
kepemimpinan Spiritual. Samuel bukan saja seorang hakim (pemimpin wilayah) bagi
umat Israel waktu itu, ia juga adalah seorang nabi yang dipercayakan Allah
untuk menuntun kehidupan rohani umat (pemimpin spiritual). Tidak heran jika
hanya Samuel-lah yang boleh mempersembahkan korban (10:8; 13:11,12). Ketika raja
Saul diurapi, suksesi kepemimpinan baru pada aspek politis (pemimpin wilayah)
dan belum pada aspek rohaniah (pemimpin Spiritual).
Dengan demikian, ketika
Samuel pamit pada perikop kita saat ini, itu berarti pamit sebagai pemimpin
wilayah karena telah ada Saul. Di sisi lain, ketika ia menyebut: bukankah anak-anakku laki-laki ada di antara
kamu?” (ay.2) menunjukkan bahwa ada kesan bahwa ia juga meletakkan
jabatan sebagai pemimpin spiritual (nabi) bagi umat Israel.
2.
Samuel menunjuk
anak-anaknya (ay.2)
Tidak dapat dipahami mengapa Samuel masih tetap menunjuk anak-anaknya,
yakni Yo’el dan Abia sebagai penerusnya di bidang kerohanian. Padahal telah
dicatat bahwa mereka tidak seperti ayahnya. Hidup mereka sebagai pemimpin
spiritual dapat dikatakan “jauh panggang dari api” alias tidak memenuhi syarat.
Bagaimana mungkin tetap mempertahankan status quo? Apakah karena mereka adalah
garis ketutunan langsung dari Samuel?
Jika
kita telusuri lebih lanjut, ternyata TUHAN, Allah Israel tidak mengfungsikan
Yoel dan Abia sebagai posisi penerus Samuel. Hal ini terbukti ketika Tuhan
sendiri memanggil ulang Samuel (dan bukan anak-anaknya) untuk mengurapi Daun
menjadi raja menggantikan Saul yang tidak dikendaki Allah (1 Samuel 16).
3.
Samuel Mempertanggung-jawabkan Kinerjanya (ay.3-5)
Perhatikanlah apa yang dilakukan oleh Samuel ketika tiba waktunya untuk
menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada pemimpin yang baru. Ada dua hal penting
yang dibuat Samuel:
a.
Sadar diri
Perhatikan alasan utama Samuel mengundurkan diri: “tetapi aku ini telah menjadi
tua dan beruban” (ay.2). Samuel sadar diri bahwa usianya
sudah lanjut dan fisiknya tidak sekuat waktu ia masih muda. Tentulah faktor ini
mempengaruhi kemampuannya untuk melaksanakan tugas ganda kepemimpinan di
Israel.
Samuel terkategori sebagai pemimpin yang “tahu diri” dan mampu dengan sadar menerima kekurangannya itu agar
kepentingan orang banyak tidak terabaikan karena “kondisi lamban” yang ada pada
dirinya akibat faktor usia. Pemimpin yang baik harus mampu untuk sigap dan giat bekerja dan memahami kapan untuk berhenti.
b.
Pertanggung-jawaban
Lihatlah bagaimana Samuel menyampaikan kalimat penting pada ayat 3-5. Ia meminta
umat Israel untuk menjadi “hakim” tentang apa yang sudah ia lakukan, sekaligus
siap dituding jari tentang kesalahan apa yang sudah ia perbuat (ay.3). Pada tahap
berikutnya, ia kemudian menpertanggung-jawabkan perbuatannya di hadapan Allah
dan menjadikan TUHAN sebagai saksi dari semua tindak tanduk perbuatannya selama
melaksanakan tugas yang ia emban (ay.5).
Pada dua model pertanggung-jawaban itu, Samuel dinyatakan bersih. Pemimpin yang
baik adalah pemimpin yang bersedia untuk siap
dinilai dan dimintakan pertanggung-jawaban. Samuel adalah contoh pemimpin
yang dimaksud. Bukan saja siap bertanggung-jawab, namun juga mengantisipasi
pertanggung-jawaban itu dengan cara melakukan yang terbaik saat mengemban
tugas, supaya ketika tiba waktunya untuk mempertanggung-jawabkan segala sesuatu
di hadapan manusia dan terutama di hadapan TUHAN, ia didapati layak dan bersih.
4.
Pemimpin hingga akhir (ay.6,7)
Menarik untuk diperhatikan catatan yang muncul pada ayat 6 dan 7. Setelah ia
mempertanggung-jawabkan semua kinerja selama memimpin umat, Samuel tetap
menjadi pemimpin purnabakti secara struktural tetapi tidak secara fungsional.
Benar bahwa ia
telah meletakkan jabatan di dan pamit di hadapan umat. Namun jika memperhatikan
ayat 6,7 dan bahkan hingga akhir perikop ini yakni ayat 25, kita menemukan
wejangan seorang peimpin masih terus dilalukan oleh Samuel. Ia tidak membiarkan
Israel tanpa pemdampingan. Walaupun secara struktural ia sudah bukan pemimpn
mereka, namun petuah dan nasehat bahkan bimbingan dan wejangan masih terus
bersedia ia sampaikan. Samuel tetap menjadi seorang pemimpin hingga akhir
hidupnya.
APLIKASI
DAN RELEFANSI
No comments:
Post a Comment