BERBUAT BAIKLAH BAGI
ALLAH MELALUI SESAMA
Bahan Khotbah Ibadah Minggu
10 FEBRUARI 2019
P E N D A H U L U A N
Membaca
perumpamaan Tuhan Yesus pada injil Lukas 10:25-37 tentang “Orang Samaria Yang
Baik Hati”, umumnya banyak orang menganggap bahwa tindakan seorang Imam dan
orang Lewi yang hanya meninggalkan orang yang hampir mati itu, merupakan
tindakan tidak terpuji, tidak berperi-kemanusiaan; dan bahkan dianggap tidak
seharusnya dilakukan oleh seorang agamawan. Alasan utama pendapat ini adalah
karena imam dan orang lewi tersebut tidak memberikan pertolongan, sebagai
orang-orang yang memperoleh kesempatan pertama untuk menolong. Di sisi lain,
tindakan “orang Samaria yang baik hati ini” justru kontras dengan sikap
para rohaniawan tersebut.
Makalah
ini mencoba untuk melihat kisah perumpamaan ini dengan “sudut pandang yang
baru” dengan cara menempatkan diri sebagai imam dan orang Lewi dalam cerita
tersebut. Dengan menempatkan diri sebagai mereka, kiranya dapat diketahui
alasan dan latar belakang dari tindakan keduanya yang seakan memberi kesan gagal
menjadi sesama manusia bagi seorang korban perampokan di jalan Yerusalem ke
Yerikho.
EXEGESE TEKS (Uraian
Perikop)
Berikut ini beberapa hal yang perlu diketahui sehubungan dengan kondisi
tempat kejadian sehubungan dengan perumpamaan Yesus ini:
A. Jalan Penghubung Kota Yerusalem Ke Yerikho
Jalan
dari Yerusalem menuju ke Yerikho hanya 27 kilometer (17 mil) panjangnya, dan di
sekitar jalan ini terbentang jalan yang menurun sekitar 1.000 meter.[1] Wilayah ini
sebenarnya tidak berpenduduk, tidak ada tanaman, dan ditandai dengan adanya
batu-batu karang kapur dan jurang di kedua sisi jalan. Pada zaman Alkitab,
jalan tersebut diberi nama "jalan berdarah," kemungkinan besar karena
dianggap tidak aman. Rute ini sering dilewati oleh para peziarah dan para
kafilah. Dari waktu ke waktu mereka dirampok oleh bandit-bandit yang
bersembunyi di belakang batubatu kapur.[2]
Dengan demikian,
dapat dipastikan bahwa jalan yang dilalui oleh orang yang dirampok pada
perumpamaan “Orang Samaria Yang Baik Hati” itu merupakan jalan yang
rawan, sulit dilalui serta tidak aman bagi para penggunanya. Tidak heran jika
perampokan terjadi di situ. Kemungkinan besar kisah yang diangkat oleh Yesus,
dalam perumpamaan ini, adalah peristiwa yang pernah terjadi walaupun
tokoh-tokoh fiktif menghiasi kisah tersebut.
B.
Yerusalem Dan Yerikho
Terdapat dua
tempat yang disebutkan oleh Yesus dalam perumpamaan ini, yakni Yerusalem
dan Yerikho. Kedua tempat ini memang berbeda, namun memiliki
konektivitas yang dalam dengan kisah ini secara khusus dengan dua tokoh
pertama, yakni Iman dan Orang Lewi.
Kota Yerusalem adalah salah satu kota termasyur di dunia yang
sudah berdiri sejak milenium 3sM. Kota ini terletak menjulang tinggi di
punggung bukit pegunungan Yehuda, dan terletak kr 50km dari Laut Tengah dan kr
30km sebelah barat ujung utara Laut Mati. [3] Di kota inilah
bangunan suci orang Israel yakni Bait Allah (biasa disebut Bait Suci)[4] berdiri megah
yang menjadi pusat peribadahan dan penyembahan umat kepada Allah.
Kota Yerikho dalam PL biasa dianggap sama dengan bukit Tel
es-Sultan yang terletak kr 16km sebelah Baratlaut muara sungai Yordan
sekarang di Laut Mati, kr 2km Baratlaut dari desa er-Rikha (kota Yerikho
Modern), dan 27km Timurlaut dari kota Yerusalem. Kota ini berbentuk jambu biji
dengan ukuran panjang kr 400m utara-selatan dan lebar ujung utaranya kr 200m
dengan tinggi kr 20 meter. Berbeda dengan Perjanjian Lama, kota Yerikho menurut
Perjanjian Baru, khususnya pada zaman Herodes terletak di bukit Tulul Abu
el-‘Alayiq, 2 km sebelah Barat desa er-Rikha modern. Dengan demikian, letak
kota Yerikho dalam PB dan dalam kisah ini berada di sebelah selatan kota
Yerikho dalam Perjanjian Lama.[5] Kota ini
kemudian terkenal memiliki jumlah penduduk yang sangat tinggi. Kota ini juga
merupakan tempat tinggal para imam.
Mengapakah
orang-orang ini berjalan melalui jalur Yerusalem-Yerikho ini? Tampaknya
sebagian besar imam dan orang Lewi yang bertugas di Bait Suci tidak tinggal di
Yerusalem tetapi ditempat lain[6]. Yerikho
merupakan salah satu tempat tersebut. Diduga ada kurang lebih 12 ribu imam dan
orang Lewi tinggal disana[7] (jumlah total
imam Bait Allah adalah sekitar 7200 orang dengan jumlah orang Lewi yang lebih
banyak lagi) [8]. Berdasarkan
fakta ini maka adalah wajar jika Imam dan orang Lewi melakukan perjalanan
melalui jalur tersebut.
C. Siapakah Imam Dan Orang Lewi Itu?
Imam adalah
orang-orang yang bertugas menjalankan ritual keagamaan di Bait Suci. Para imam
ini dibagi menjadi 24 kelompok yang setiap kelompok bertugas selama 1 minggu
per waktu sebanyak 2 kali dalam satu tahun. Meskipun begitu dalam hari-hari
raya besar mereka semua diminta untuk bertugas.[9] Sedangkan Orang
Lewi juga merupakan petugas dalam Bait Suci. Tugas mereka ialah bernyanyi
dan memainkan musik untuk ibadah-ibadah yang berlangsung, membantu pekerjaan
para imam dan menjadi penjaga[10]. Mengingat
bahwa kehidupan bangsa Yahudi berpusat kepada Bait Suci maka tentulah
orang-orang yang bertugas dan melayani disana memiliki status sosial dan
kebanggaan tersendiri.
D. Mengapa Mereka Mengabaikan Orang Yang Dirampok Itu?
Dalam
ayat 31-32 dikatakan dalam teks ada seorang imam dan lewi yang melewati daerah
tersebut dan menemukan orang yang sedang tergeletak di jalan tersebut yang baru
saja di rampok dan dipukuli sampai setengah mati. Namun, imam tersebut hanya
melewatinya saja dan tidak menolongnya. Membayangkan situasi yang ”setengah
mati” tersebut dengan perspektif melihat dari kejauhan, tentulah imam tersebut
tidak bisa membedakan apakah sudah mati atau masih kritis “setengah mati”
sebagaimana tertulis dalam ayat 30.
Ia
tidak menolong kemungkinan disebabkan karena ia teringat akan ketentuan bahwa
barangsiapa yang menyentuh orang mati maka ia menjadi najis selam tujuh hari
(Bil 19:11). Imam ini ragu-ragu apakah ia masih hidup atau sudah mati, oleh
karena itu ia tidak mau menolongnya. Selain ia menjadi najis dan tidak dapat
melakukan kegiatan di Bait Allah, maka agar dapat menjadi tahir kembali,
seorang imam harus melakukan ritual yang rumit dan juga membutuhkan biaya yang
mahal untuk melakukan pentahiran tersebut (Bil 19:1-10). Sehingga kemungkinan
dengan alasan tersebut imam ini tidak menolong orang ini dan lebih mementingkan
kehidupan pribadinya daripada menolong sesama.[11]
Kemudian
di ayat 32 juga dikatakan bahwa orang Lewi juga melihat orang yang tergeletak
tersebut, namun dia juga tidak menolongnya. Alasan yang sama seperti dengan
Imam kemungkinan menjadi penyebabnya. Selain itu, biasanya para bandit
mempunyai strategi untuk menarik mangsanya. Bisa saja orang yang sedang
terbaring itu adalah salah seorang anggota mereka sendiri yang bertindak
sebagai korban. Kalau orang Lewi itu berhenti disitu maka dengan tiba-tiba para
perampok juga akan menyergap dia dan merampok harta bendanya. Orang Lewi
terkenal dengan semboyan “pertama-tama adalah keamanan diri”, jadi ia tidak mau
mengambil resiko dengan menolong orang tersebut.[12] Selain takut
jika korban itu adalah stategi yang digunakan oleh perampok, kemungkinan orang
Lewi juga takut menjadi najis mengingat ia mempunyai tugas di dalam Bait Allah
seperti yang telah dijelaskan di atas.
E. Salahkah Aku Jika Ingin Menjalankan Kewajiban
Agamaku?
Dari
uraian di atas, maka di saat kita menempatkan diri sebagai orang lewi dan imam
dalam perumpamaan Yesus mengenaii Orang Samaria Yang Baik Hati tersebut,
terdapat beberapa penekanan penting untuk dapat dijadikan alasan mengapa
tindakan mereka berdua dapat dianggap “tindakan tak keliru” saat
mengabaikan orang yang hampir mati tersebut, yakni:
1. Siapakah orang yang sedang “setengah mati” akibat
dianiaya oleh para penyamun tersebut? Sepertinya, Yesus tidak fokus pada tokoh
yang terkena musibah tersebut. Hal ini terlihat dari tidak diuraikannya oleh
Yesus latar belakang korban (status sosial, kebangsaan dll). Alkitab menyebut
hanya 1 kepastian yakni ia telah dianiaya dan saat itu sedang sekarat atau
hampir mati. Istilah “setengah mati” bisa berarti hampir mati, yakni kondisi
yang terlihat seakan ia sudah mati (tak bergerak, penuh luka dan darah). Di mata
imam dan orang Lewi orang setengah mati ini seperti sudah mati dan menjadi
mayat. Walau ternyata kenyataannya, ia belum mati. Tetapi apakah mereka berdua
tahu bahwa sang korban belum mati? Atau mereka hanya tahu bahwa dijalan itu
jenasah orangg mati?
2. Merujuk pada Imamat 21:1 yang menyebutkan: “TUHAN berfirman kepada Musa:
"Berbicaralah kepada para imam, anak-anak Harun, dan katakan kepada
mereka: Seorang imam janganlah menajiskan diri dengan orang mati di antara
orang-orang sebangsanya,” menunjukkan bahwa tindakan seorang Imam pada
perumpamaan tersebut, didasarkan atas ketaatannya pada perintah TUHAN sendiri.
Demi menjaga kekudusan dirinya sebagai pelayan di Rumah TUHAN, maka ia memilih
menghindari “sesuatu” yang terlihat seperti jenasah tersebut. Dengan kata lain,
bahwa ia sendiri terikat pada ketentuan agamanya sendiri, yang melarang dirinya
sebagai imam untuk menyetuh orang mati. Menyentuh orang mati membuatnya menjadi
najis. Dan dampak dari kenajisan tersebut adalah tertutupnya kesempatan bagi mereka
sebagai pekerja Bait Allah untuk melayani Allah.
3. Selanjutnya, apabila memperhatikan Taurat dalam
kitab bilangan 19:11, kita mendapat penjelasan bahwa lamanya seseorang menjadi
najis karena menyentuh mayat adalah 7 (tujuh) hari, maka cukup beralasan bahwa
sangat beresiko bagi kedua pelayan Bait Allah itu apabila menolong orang yang
“setengah mati” tersebut yang terlihat menurut mereka adalah jenasah orang
mati. Adalah sangat mungkin dengan kurun waktu yang lama itu (satu minggu)
mereka tidak dapat menjalankan tugas sebagai imam dan sebagai orang lewi dalam
penugasan khusus tersebut.
Dari
3 (tiga) poin penting ini, maka kita menemukan dalam persepktif kewajiban dan
ketentuan agama dan secara khusus sebagai pelaksana kegiatan keagamaan, imam
dan orang lewi justru tidak gagal, melainkan karena ketaatan pada kaidah
agamanya-lah hal itu mereka lakukan. Pengabaian terhadap orang yang dirampok
tersebut tidak dapat disalahkan kepada mereka apabila berada dalam usaha
menjalankan kewajiban agama.
APLIKASI DAN RELEFANSI
Uraian
di atas tidak bermaksud membenarkan imam dan orang lewi atas tindakan mereka.
Tetapi mencoba berada diposisi mereka dan menemukan perspektif yang benar dari
sudut pandang kedua orang tersebut. Tetapi, apakah tindakan mereka benar secara
kemanusiaan? Perumpamaan Yesus tidak berkonteks pada kewajiban melaksanakan
panggilan keagamaan Yahudi. Perumpamaan Yesus justru berada pada latar
pertanyaan: “siapakah sesamaku manusia?” Hal ini berarti, Yesus sedang
menjawab bagaimana seharusnya BERSIKAP SEBAGAI SESAMA MANUSIA.
Inilah
kegagalan orang lewi dan imam tersebut dalam perumpamaan Yesus. Benar
bahwa mereka menjalankan kewajiban agama dengan baik, tetapi mereka gagal
berprilaku sebagai sesama manusia bagi orang yang hampir mati itu. Yesus tidak
bicara soal kewajiban aturan keagamaan, tapi Yesus mengoreksi kegagalan prilaku
kemanusiaan seorang yang beragama dan pengajar keagamaan yakni si penanya yang
adalah ahli Taurat. Mengasih Allah dengan menjalankan kewajiban agama secara
liturgis adalah baik. Tetapi lebih mulia dan lebih berkualitas hidup
keagamaannya apabila ia mengasihi Allah dengan cara mengasihi sesamanya manusia
sebagai ciptaan Allah. Perumpamaan ini justru
menjawab pertanyaan Ahli Taurat: "siapa sesamaku manusia itu?"
(Ay.29). Apa artinya? Seorang Imam dan orang Lewi dalam perumpamaan ini telah
BERHASIL melaksanakan peraturan agama (Taurat) tetapi mereka GAGAL menjadi
sesama manusia bagi yg sekarat itu dan yang butuh pertolongan tersebut.
Di sisi lain kita juga pasti menyanjung Orang Samaria yang murah hati
tersebut, bukan? Yah... itu tindakan yang mulia, terpuji dan penuh cinta kasih.
Tetapi menurut saya, yang tidak kalah mulia, terpuji, rendah hati dan penuh
kasih adalah Si Pengarang perumpamaan ini, yakni Tuhan Yesus. Mengapa? Karena pada
kisah sebelumnya ternyata Yesus pernah ditolak melintas di kampung orang
Samaria (9:51-56). Para murid marah dan mohon ijin menggunakan kuasa Ilahi
untuk binasakan orang2 di kampung itu, tetapi justru Yesus memarahi mereka
(ay.54-55). Ketika menceritakan perumpamaan di atas, harusnya ada kesempatan
bagi Yesus untuk membalas kejahatan orang2 Samaria itu dan menjadikan orang
Samaria sebagai tokoh yg jahat di perumpamaan ini. Ternyata tidak, bukan? Justru
orang Samaria dalam perumpamaan itu menjadi tokoh utama, tokoh heroik dan
mulia. Hebat bukan Si Pengarang perumpamaan ini?
Selanjutnya, apa jawaban si penanya (ahli Taurat) ketika di akhir kisah
Yesus bertanya: "menurutmu, siapakah sesama manusia dari orang yang malang
itu?" Si ahli Taurat menjawab: "Orang yang menunjukkan belas kasihan
kepadanya" (ay.37). Jawaban ini BENAR, tetapi TIDAK tulus...! Seharus ia
menjawab: "Orang Samaria yang baik hati itu". Mengapa ia tidak
menyebut orang Samaria dari mulutnya sendiri? Karena orang Samaria dan Yahudi
bermusuhan. Orang Samaria dianggap rendah oleh kalangan Yahudi. Sehingga ia
merasa “najis” untuk menyebut Samaria dari mulutnya
Karena itu, orang yang paling malang hidupnya bukan si korban kejahatan
dalam kisah perumpamaan ini. Tetapi justru si Ahli Taurat inilah yang
"paling malang" hidupnya karena gagal menjadi "manusia"
bagi orang lain (walau hanya lewat ucapan sekalipun). Lalu, jika meluaskan arti
sesama manusia dengan istilah sesama ciptaan Allah, maka si keledai, yg
terkenal sebagai binatang bodoh, jauh lebih baik. Karena bersedia dengan rela memikul
si korban hingga tiba ke tempat pengobatan (ay.34). Si keledai berhasil menjadi
"sesama ciptaan Tuhan" bagi si korban.
[1] Tafsiran
Alkitab Masa Kini 3 Matius – Wahyu, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina
Kasih, 2003), hlm. 219.
[2] Cerita-cerita mengenai perampok-perampok di jalan raya
sepanjang jalan ke Yerikho telah dicatat sejak dahulu sampai sekarang.
Misalnya, lihat komentar Jerome tentang Yeremia 3:2. Lihat pada:
http://www.sarapanpagi.org/25-orang-samaria-yang-murah-hati-vt1699.html
(diakses pada tanggal 19 Desember 2015.
[3] Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini Jilid II, (Jakarta: Yayaysan Komunikasi Bina Kasih,
2007), hlm. 571
[4] Menurut
sejarahnya, Ada dua Bait Suci yang berdiri berturut-turut di Bukit Bait
Suci di Yerusalem:
·
Bait Suci Salomo yang
dibangun sekitar abad ke-10 SM untuk
menggantikan Kemah Suci. Bangunan ini
dihancurkan oleh bangsa Babel di bawah Nebukadnezar pada tahun 586 SM.
·
Bait Suci Kedua dibangun
setelah bangsa Yehuda kembali dari pembuangan di Babel, sekitar tahun 536 SM (selesai
pada 12 Maret 515 SM[1]).
·
Bait Suci Herodes adalah
perluasan dari Bait Suci Kedua termasuk
renovasi atas seluruh Bukit Bait Suci. (Bangunan
ini tidak disebut "Bait Suci Ketiga".) Herodes Agung memulai
proyek perluasannya sekitar tahun 19 SM. Bangunan ini
dihancurkan oleh pasukan-pasukan Romawi di
bawah Kaisar Titus pada
tahun 70 M. Namun
sebagian sejarahwan menduga bahwa orang-orang Yahudi sendiri telah membakar
Bait Suci Kedua agar tidak dicemari.
[5] I
b i d, hlm. 567
[6] E. Ferguson, Backgrounds
of Early Christianity, (Michigan: Eerdmans Publishing Co.,
2003), hlm. 565
[7] e-Sword, Albert
Barnes' Notes on the Bible, Lukas 10:30
[8] S. W.
Wahono, Di Sini Kutemukan : Petunjuk
Mempelajari dan Mengajarkan Alkitab, (Jakarta: Gunung Mulia, 2011),
hlm. 324
[9] E.
Ferguson, ibid.,
h.565
[10] S. W.
Wahono,, ibid., h.324
[11] Barclay, W., Pemahaman Alkitab Setiap Hari Injil Lukas,
(Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2011), hlm.
199-201
No comments:
Post a Comment