MELIBATKAN TUHAN
DALAM PERENCANAAN
Bahan Bacaan Alkitab Ibadah
Rumah Tangga
Rabu, 30 JANUARI 2019
A. PENGANTAR
Pernahkan saudara membuat
janji dengan seorang rekan yang beragama Islam dan kemudian kita ingin
memastikan jadi atau tidak rencana itu, atau apakah ia bersedia datang atau
tidak? Kita sering mendengar jawaban “insya Allah”, bukan? Istilah ini berarti “jika
Tuhan Ijinkan”. Dalam bahasa
latin perkataan seperti ini dikenal dengan sebutan O Deo Volente yang
bermakna kepasrahan kepada kehendak sang
Khalik sambil tidak lupa mengusahakannya. Inilah yang juga diajarkan oleh
Yakobus pada perikop kita. Surat
ini ditujukan kepada orang Kristen Yahudi diaspora yakni mereka yang tersebar
dalam perantauan. Yakobus menujukan surat ini kepada duabelas suku yang telah
percaya kepada Yesus Kristius (1:1).
Sepertinya, Yakobus melihat berbagai persoalan yang sedang dihadapi
oleh jemaat Tuhan ini dengan cara umum, yakni tentang perbagai pencobaan hidup
yang harus mereka alami sebagai kaum pendatang maupun pencobaan iman sehubungan
dengan status mereka sebagai orang percaya (1:2-18); bagaimana seharusnya sikap
orang percaya berhubungan dengan Firman Tuhan yang telah mereka terima
(1:19-27); relasi dan interaksi dalam jemaat maupun di luar jemaat (2:1-13;
3:1-18); iman yang harusnya diejawantahkan dalam perbuatan (2:14-26); dan
beberapa pokok penting yang berhubungan dengan tindakan, cara hidup serta sikap
yang harus dilakukan oleh seorang yang percaya kepada Yesus Kristus (4:1-5:20). Dengan kata lain, surat Yakobus justru menitik
beratkan pada aspek praktis yakni tindakan
nyata dari tiap orang percaya yang mengimani Yesus Kristus.
Pada perikop pasal 4:13-17, Yakobus fokus pada bagaimana seharusnya seorang Kristen mempraktekkan imannya kepada
Tuhan melalui melibatkan Tuhan dalam aspek kehidupan termasuk pada situasi yang
belum terjadi atau baru sedang direncanakan. Bahwa percaya kepada Allah harus
diikuti dengan tindakan nyata untuk membiarkan segala sesuatu terjadi dalam
kehendakNya.
B. PENJELASAN NATS
Yakobus memulai pengajarannya dengan menunjuk pada sekelompok orang
dengan status mulia (kaya dan terpandang) yakni para pedagang yang membuat
perencanaan untuk hari ini atau besok akan mendapatkan untung melalui pergi
berdagang ke suatu tempat yakni kota “Anu” (pengandaian tempat).
Persoalan Yakobus ada pada ayat 14, yakni “tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi besok”. Sudah pasti para
pedagang ini bukan “anak kemarin sore” yang tidak berpengalaman. Mereka tentunya
sangat profesional di bidangnya. Tetapi bagi Yakobus, sehebat apapun
perencanaan, sejitu apapaun strategi yang dibuat di hari ini untuk target hari
esok, tetapi semuanya ditentukan oleh apa yang terjadi di hari esok. Kalimat “tidak ada yang tahu tentang hari esok”
menunjuk tentang keterbatasan manusia yang tidak pernah bisa membuka “misteri”
esok hari, kecuali bersiap menghadapi kondisi apapun tentang esok. Kalimat “tidak ada yang tahu tentang hari esok”
juga adalah suatu kepastian bahwa tidak ada yang bisa memastikan kendala dan
halangan yang muncul tiba-tiba tanpa bisa diprediksi sebelumnya. Ujung akhirnya
adalah bukan untung, malah buntung
alias merugi.
Menarik sekali bahwa Yakobus menyebut ketidaktahuan tentang hari esok
setara dengan gambaran kehidupan manusia bagaikan uap yang sebentar saja kelihatan
lalu lenyap (ay.14b). Apakah maksud pernyataan Yakobus ini? Apakah orang
tidak boleh membuat perencanaan? Yakobus tidak fokus pada membuat perencanaan,
tetapi pada kepogahan dan kesombongan merencanakan hidup menurut kemampuan diri
sendiri (ay.16). Bagi Yakobus, hal itu adalah sikap Congkak dan angkuh karena
melihat kemampuan dan kelebihan diri sebagai modal utama menuju kesuksesan. Hal
ini lumrah di kalangan para pedagang yang memiliki jejak sukses dan modal
dagang yang besar. Tetapi justru keangkuhan seperti inilah yang akan
menghancurkan. Sebab siapakah yang dapat menjamin bahwa hari esok ia masih bisa
berdagang? Apakah ia mampu memastikan bahwa di esok hari dirinya masih bisa
hidup untuk mengerjakan rencana itu?
Berdasarkan hal di atas inilah, maka Yakobus memberikan pengajaran
tentang bagaimana seharusnya membuat rencana hidup itu. Bagaimana menyusun
rencana hari esok? Yakobus menyebut “ὁ κύριος
θελήσῃ” (baca: ho kurios thelese). Istilah “θελήσῃ” dari kata “θέλω” (baca: thelo) yang berarti: keinginan, hasrat,
kehendak, dan kemauan. Maka dengan sederhana perkataan Yakobus ini bermakna: engkau
seharusnya berkata, “jika rencanaku ini
sesuai dengan rencana Tuhan”; atau “jika
apa yang aku inginkan sama dengan yang Tuhan inginkan”; atau “jika sesuai dengan kehendak Tuhan”. Pemahaman
ini setara dengan istilah latin O Deo Volente atau “insya
Allah” yang disebutkan di
awal tadi.
Yakobus memberikan prinsip benar dalam merencanakan hari esok yakni: melibatkan
Tuhan dalam perencanaan. mengapa hal ini begitu penting? Sebab menurut
Yakobus sebagaimana di ayat 14: tidak ada yang tahu tentang hari esok. Karena tidak
ada yang mengetahui hari esok, maka seharusnya mencari pihak yang mengerti dan
mengetahui tentang kondisi esok hari. Pribadi yang mengetahui segala-galanya,
termasuk peristiwa esok yang belum terjadi adalah Tuhan pencipta dan penguasa
waktu termasuk penguasa hari esok. Itulah sebabnya, bagi Yakobus melibat Tuhan
dalam perencanaan sangatlah penting.
Di sisi yang lain, O Deo Volente (jika Tuhan kehendaki)
juga memiliki makna penting yakni suatu pengakuan bahwa apapun yang saya
kerjakan, harus tunduk pada kehendak Tuhan (kekudusan dan kebenaran, keadilan
dan pengasihan = sifat ilahi) dan bukan untuk kemauan dan keuntungan diri.
Pengajaran Yakobus ini juga mengarah pada mentalitas orang percaya bahwa bukan
kuat dan gagahku yang diandalkan melainkan Tuhan sang Mahakuasa-lah yang
memampukanku.
Pada bagian akhir
perikop ini secara tiba-tiba, Yakobus menyebut tentang dosa. Ia berkata: “Jadi jika seorang tahu
bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa” (ay.17). Berbuat baik bagaimana yang dimaksudkan Yakobus? Kalimat
ini merupakan pengunci ajaran tentang “melibatkan Tuhan dalam perencanaan”.
Maka perbuatan baik yang dimaksud adalah tidak meluoakan Tuhan dalam perencanaan.
Jika telah mengerti ajaran ini namun tidak melakukannya, maka ia berdosa. Sifat
yang mengabaikan Tuhan dalam gerak kehidupan, bukan saja merupakan perbuatan
salah, namun sama halnya telah berbuat dosa. Karena itu, jangan melupakan Tuhan
dalam hidup dan perencanaan hidup kita.
C.
REFLEKSI
Mari diskusikan hal ini sesuai
dengan kebutuhan tiap konteks jemaat
No comments:
Post a Comment