PENGHAKIMAN BAGI PELAKU KETIDAK-ADILAN
Bahan Bacaan Alkitab Ibadah Persekutuan Kaum Perempuan
Minggu, 20 Januari 2019
PENGANTAR
Pelaku kejahatan
pada saatnya akan tertangkap dan kejahatannya terungkap. Bagian akhir adalah ia
dihakimi oleh hakim untuk mengukur kadar yang tepat hukuman yang akan diberikan
berdasarkan nilai kejahatannya. Di sinilah peran hakim dibutuhkan. Karena itu
hakim harus mempunyai wawasan luas, kemampuan melihat dengan berbagai sudut
pandang berbeda satu kasus tertentu, berhikmat untuk menhimpun tiap bahan
putusan, dan keberanian atas nama kebenaran dan keadilan ketika membuat amar
putusan bagi para pesakitan.
Sekarang bagaimana
jika hakim justru membuat keputusan keliru. Keliru yang dimaksud tidak sesuai
dengan kaidah hukum yang berlaku? Bagaimana jika berdasarkan wewenang yang ia
miliki, hakim mengunakan kekuasaannya untuk menindas dan emutar-balikkan
kebenaran? Bagaimana jika orang benar justru dihukum dan orang jahat bebas dari
vonis? Mereka yang seperti itu adalah para pelaku ketidakadilan.
TELAAH PERIKOP
Asaf memotret
ketidakadilan yang terjadi di depan matanya, lalu berseru kepada TUHAN Allah
Israel yang ia juluki sebagai Hakim juga. Ia menggambarkan tentang proses
sidang ilahi (ay.1) untuk menghakimi para pembuat keputusan pengadilan di dunia
(ay.2). Asaf menyampaikan sesuatu yang menarik tentang para hakim ini, yakni ia
menyebut mereka sebagai “para allah” (ay.6). Istilah ini dalam teks asli tertulis אֱלֹהִים (baca: 'elohiym).
Dari bentuk kata ‘elohim
merupaka kata benda maskulin plural sehingga harus diterjemahkan dengan jamak
(para allah, allah-allah). Secara literer, istilah ini berarti penguasa,
pembuat aturan, pengadil (pembuat keadilan dan hukuman) yang umumnya diakui
oleh umat Israel sebagai siapa TUHAN itu, yakni penguasa, pembuat aturan,
pengadil atau Allah.
Maka,
ketika membaca Mazmur ini, kita diajak oleh asaf membayangkan bahwa Hakim Agung
yakni TUHAN, Allah Israel sedang menghakimi para penguasa, pembuat aturan,
pengadil (hakim) atau para allah (huruf kecil) ini. Mengapa mereka dihakimi?
Pada ayat 3-5 kita menemukan jawabannya, yakni para hakim ini gagal
melaksanakan funhsi mereka sebagai penguasa, pembuat aturan, dan penentu
keadilan di dunia. Mereka gagal untuk:
-
Memberikan
keadilan kepada yang lemah (ay.3a)
-
Membela
hak orang sengsara dan kekuarangan (ay.3b)
-
Melepaskan
orang miskin dari cengkraman orang fasik (ay.4)
-
Menuntun
ke jalan yang benar mereka yang tidak mengerti (ay.5)
TUHAN Allah Israel, menurut
Asaf, memberikan kedudukan yang sangat tinggi bagi para hakim ini, yakni mereka
adalah para allah (ay.6) yakni penguasa dunia yang diberi gelar anak-anak Yang
Mahatinggi. Namun karena kegagalan mereka, dan kejahatan mereka yang tidak melaksanakan
tanggungjawab besar dari kedudukan tinggi mereka, maka Sang Mahatinggi telah
hadir untuk menghakimi mereka dan membuat keputusan yang tak terelakkan yakni kebinasaan bagi mereka (ay.7).
Kita menemukan makna penting antara tugas dan jabatan.
Bahwa jabatan hanya hadir jika telah ada fungsi tugas atau tanggung jawab
kerja. Di Israel, seorang yang membuat aturan, menegagkan keadilan, menuntun
banyak orang disebut sebagai hakim atau mendapat jabatan hakim. Maka ketika si
hakim tidak melaksanakan fungsi tugasnya sebagai hakim, dengan sendirinya ia
dianggap bukan hakim lagi dan oleh TUHAN ia dibinasakan.
Pada bagian akhir, seakan
bosan dan tak sanggup melihat praktek ketidak-adilan yang ia lihat, maka Asaf
berseru kepada Allah agar TUHAN sajalah yang melaksanakan fungsi tugas ini,
tidak ada yang baik dari mereka, hanya TUHAN saja yang memiliki kuasa atas
dunia ini (ay.8). Kegagalan mereka (para allah) melaksanakan fungsinya, membuat
umat berseru memohon kehadiran TUHAN untuk mendatangkan keadilanNya bergulung-gulung
di muka bumi ini. Jika Ia yang datang sebagai Hakim, maka tidak ada satupu yang
luput dari mataNya termasuk para pembuat keputusan hukuman, penguasa dan
pembuat ketidakadilan.
RELEVANSI DAN APLIKASI
Pokok-pokok pikiran
yang dapat menjadi bahan relevansi Firman ini bagi kehidupan umat percaya
adalah:
1.
Ketidak-adilan
bukan barang baru di dunia ini termasuk di Indonesia. Itu seakan menjadi
“lumrah” terlihat di mana-mana. Tetapi bukan berarti hal yang “lumrah” itu
layak untuk dilakukan. Tidak ada kata “wajar” bagi kejahatan dan ketidk-adilan.
Sebagaimana Asaf, kita diajar untuk
tidak lelah mencari keadilan dan memperjuangkannya. Tanpa usaha memperjuangkan
keadilan, maka kondisi “tak adil” akan terus terjadi.
2.
Sebagai
ibu rumah tangga dan seorang istri, kita dapat memulainya di rumah, yakni
dengan mengajarkan keadilan kepada anak-anak. Memperhatikan mereka tanpa “pilih
kasih”, menyatakan salah bila salah, menegur dan tidak membarkan kejahatan
“kecil” terjadi di rumah. Hal-hal seperti ini juga adalah cara kita
mempraktekkan keadilan disekitar kita.
3.
Pada
waktunya nanti, tiap kita akan mempertangung-jawabkan segala sesuatunya (lihat
ay.7). Pedulikah kita kepada mereka yang membutuhkan tuntunan, arahan dan
pertolongan (lih. ay.3-5).
Silakan kembangkan materi ini sesuai kondisi
dan kebutuhan umat yang mendengarkan Firman ini.
No comments:
Post a Comment