HABAKUK 1:1-4
KETIKA HUKUM DAN KEADILAN
MENJADI MANDUL
Bahan Khotbah Ibadah Minggu
O2 September 2018
PENGANTAR
Penulis kitab ini adalah nabi Habakuk. Nama Habakuk berasal dari bahasa Ibrani: חֲבַקּוּק, (Havakuk) yang berarti “Rangkulan”. Tidak ada data yang
cukup tentang siapa nabi Habakuk. Tetapi dari catatan kitab ini, dapat
dipastikan bahwa Habakuk berkarya khususnya pada Israel Selatan yakni Yehuda di
jaman pemerintahan raja Yoyakim. Pasal 1:6 dapat menjadi rujukan waktu
peristiwa yang terjadi dalam kitab ini. Orang Kasdim dalam ayat 6 dimaksud
merupakan suku bangsa Babel Selatan yang dipakai Tuhan untuk menyerang Yehuda
(1:6). Dalam suatu penelitian, diperkirakan bahwa peristiwa itu terjadi sekitar
tahun 606-605 sM, yakni di masa awal pemerintahan raja Yoyakim (lihat
penjelasan SGD).
Kondisi yang terjadi di masa pemerintahan Yoyakim sangat
memprihatinkan. Raja ini adalah salah satu dari sekian banyak Raja Yehuda yang
tidak takut Tuhan. Kehidupan para pembesar kerajaan, pejabat negeri yang
mempraktekkan ketidakadilan dan berbagai bentuk penindasan kepada kaum lemah.
Kehidupan masyarakat jauh dari kata baik, sebab kebobrokan pemimpin negeri yang
lebih mengejar keuntungan pribadi dan kekuasaan.
PENJELASAN TEKS
Jika memperhatikan keseluruhan pasal 1:1-17, kita menemukan pembagian
yang menarik pada pasal ini. Pasal 1:1-4 berisi tentang aduan Habakuk dan keluh
kesahnya tentang kondisi real yang terjadi dan terkesan Tuhan membiarkan; Pasl
1:5-11 berisi tentang jawaban Tuhan tentang keluh kesah Habakuk dan bagaimana
rencana Tuhan dibukakan di hadapan nabi itu. Bahwa Tuhan akan mengutus bangsa
Babel untuk memberi “pelajaran” kepada Yehuda;
Pasal 1:12-17 adalah reaksi Habakuk ketika bangsa Kasdim meluluh
lantakkan Yehuda. Ia bertanya mengapa justru Tuhan memakai bangsa kafir (orang
fasik) untuk menghukum umat pilihannya?
Bacaan kita hanya fokus pada ayat 1-4 untuk menjadi bahan perenungan
pada ibadah minggu nanti. Mari perhatikan beberapa pokok yang ada dalam 4 ayat
perikop ini:
1. Seruan kepedihan
mewakili umat? (ay.1,2)
Jika membaca berulang teks ini, maka kita akan dapat
mengerti bahwa Habakuk tidak sedang berbicara untuk dirinya sendiri, ia
mewakili suara umat yang tertindas dan teraniaya dan menyampaikan permohonan
minta tolong kepada Allah sumber segala kelegaan dan kelepasan. Perhatikanlah
dan hayatilah bunyi teks ayat 2 bacaan ini. Kesan yang kuat adalah Habakuk
mewakili umat sedang dalam posisi putus asa. Mereka mengalami kebuntuan
menemukan jalan keluar. Bahkan, kondisi ini memicu pada suatu kegoyahan iman
untuk mempertanyakan Tuhan.
Ketidakadilan dan penindasan yang semakin merajalela,
tak sedikitpun berkurang penderitaan membuat umat yang diwakili Habakuk
bertanya: “berapa lama lagi, Tuhan...”. Perhatikanlah bahwa pertanyaan
berapa lama lagi ini bukan dimaksud soal berapa lama kondisi ini tetap ada,
melainkan ditujukan pada kondisi “Tuhan tidak mendengar” dan “Tuhan
tidak menolong”. Pertanyaan ini tidak bermaksud menghakimi Tuhan, dan
atau menjadikan Tuhan sebagai “kambing hitam” dari tiap derita mereka, tetapi
justru menjadikan Tuhan sebagai sumber jawaban. Bahwa kemelut dan soal hidup
yang dialami saat ini hanya Tuhan yang mampu selesaikan,
sehingga kepada Tuhanlah permohonan minta tolong itu disampaikan. Kenyataannya,
Tuhan masih belum menjawab seruan mereka.
2. Alasan keadilan muncul
terbalik (ay. 3,4)
Jika pertanyaan pertama Habakuk fokus pada berapa
lama harus menunggu jawaban Tuhan, maka pertanyaan kedua di ayat 3
bacaan kita ini fokus pada berikan alasan mengapa hal itu terjadi.
Yah... dalam kerapuhan, kepedihan dan keletihan menanti pertolongan Tuhan,
Habakuk tiba pada pertanyaan yang umum yang diapaki oleh semua orang ketika
buntu menghadapi jalan keluar atau tak siap menerima kenyataan, yakni
pertanyaan: MENGAPA.
Pertanyaan mengapa adalah pertanyaan ingin tahu
tentang alasan dan sebab. Jika ini ditujukan kepada Tuhan maka pertanyaan
mengapa adalah upaya ingin tahu dan mendesak Allah untuk memberikan jawaban
alasan dari kondisi ini terjadi. Tetapi tahukan saudara, bahwa pertanyaan mengapa tidak pernah dijawab oleh TUHAN? Seruan
“eli-eli lama sabakhtani” oleh
PuteraNya sendiri sekalipun, Sorga tetap berdiam diri. Allah tidak memiliki
kewajiban untuk menjawab pertanyaan mengapa dari umatNya, sekaligus
seakan menekankan bahwa bukan kewajiban Allah untuk
membeberkan alasan-alasan dari tindakanNya. Justru kewajiban ciptaanNya untuk
menjalani setiap rencanaNya yang tidak terselami itu.
Selanjutnya, Habakuk sampai pada kesempulannya sendiri
ketika Tuhan “berdiam” pada pertanyaannya itu. Mengapa hukum kehilanagn
kekuatan dan tidak muncul keadilan? Mengapa keadilan muncul terbalik? Jawaban
jitu dari Habakuk adalah: “Karena orang fasik mengepung orang benar”
(ay.4). Jawaban ini menarik untuk ditelusuri. Jika orang fasik
mengepung orang benar, itu berarti jumlah orang fasik jauh lebih banyak dari
orang benar. Jika orang fasik lebih banyak, maka kumpulan merekalh yang
menguasi sebagian besar sistem pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat. Premis
ini tidak terbantahkan. Maka jika keadilan muncul terbalik, penyebabnya adalah sistem
peradilan telah dikuasi oleh orang fasik. Menyedihkan bukan?
APLIKASI DAN RELEVANSI
1. Tidaklah berlebihan jika
kondisi di Yehuda yang kita baca pada perikop ini juga merupakan potret wajah
kehidupan negeri ini pada beberapa sisi? Kisah Meliana yang divonis 18 bulan
(1,6 tahun) penjara hanya karena keluhkan volume adzan adalah salah satu
contohnya. Keluhan Meliana ini mendapat reaksi dari masyarakat Tanjung Balai
dengan membakar 14 Vihara umat Buddha. Apakah hukuman yang diterima oleh 8 orang
terdakwa pembakaran rumah ibadah itu? Rata-rata tidak melebihi 2 bulan
kurungan.
Sudah pasti akan ada banyak reaksi, entah mendukung
atau menolak di masing-masing kubu. Pertanyaan mengapa akan datang lagi sebagaimana pertanyaan Habakuk. Perlu
untuk kita renungkan bahwa “jika suara orang jahat terdengar sangat
lantang, itu bukan karena suara mereka lebih nyaring dari orang benar,
melainkan karena orang benar cendrung berdiam diri pada zona nyaman”
Dengan kata lain, daripada kita sibuk membuat pertanyaan
mengapa
kepada Tuhan, bukankah kita bisa menjadi suara Tuhan untuk menyuarakan
kebenaran? Bukankah sebaiknya kita mendorong tiap orang-orang yang berpotensi
dan memiliki kecakapan dan terbukti bersih hidupnya untuk didukung masuk dalam
sistem agar makin banyak orang benar berada di posisi strategis pengambil
keputusan untuk negeri ini?
2. Tidak dapat disangkali
bahwa untuk membuat perubahan, yakni menjadi kebenaran dan keadilan sebagai
warna baru dalam kehidupan ini, adalah berkara yang tidak mudah. Tetapi kita
tidak boleh menyerah untuk memperjuangkan hadirnya kebenaran itu. Mengapa
demikian? Jika menyerah dan kemudian menyerahkan perkara ini kepada Tuhan,
sebagaimana permohonan Habakuk, maka Tuhan pada waktunya “mengambil alih” prose
itu. Apa jadinya? Yehuda hancur oleh bangsa Kasdim. Mungkinkah juga hal ini
terjadi bagi kita? Kiranya tidak. Mari teruslah berteriak lantang agar
kebenaran tetap bersuara dengan nyaring.
No comments:
Post a Comment