1 SAMUEL 13:1-12
JANGAN MENGANDALKAN PIKIRAN
Bahan Bacaan Alkitab Ibadah
Minggu
30 SEPTEMBER 2018
PENGANTAR
Saul merupakan raja pertama di Israel. Dalam bahasa Ibrani, nama Saul (שָׁאוּל = Sya’ul;
baca: Saul) berarti “yang diminta”. Ia adalah putra Kisy dari
suku Benyamin yang oleh Samuel diurapi menjadi Raja secara sembunyi-sembunyi
(10:1) dan secara resmi diumumkan di hadapan umum melalui upacara di Mizpa
(10:17-25).
Kisah ini bermula dari pasal 10:8, yakni setelah Saul
diurapi oleh Samuel. Nabi ini berpesan kepadanya: “… Engkau harus pergi ke
Gilgal mendahului aku, dan camkanlah, aku akan datang kepadamu untuk
mempersembahkan korban bakaran dan korban keselamatan. Engkau harus menunggu
tujuh hari lamanya, sampai aku datang kepadamu dan memberitahukan kepadamu apa
yang harus kaulakukan.". Maksud dari pemberian pesan tersebut adalah
tangung-jawab Samuel-lah untuk mempersembahkan korban bakaran kepada TUHAN,
Allah Israel. Tugas keimaman ini adalah wewenang Samuel dan bukan Saul.
Rupanya perintah sederhana ini gagal ditaati Saul,
sehingga di mata TUHAN, melalui mulut Samuel, Saul dianggap cacat dan melanggar
perintah Allah.
TELAAH PERIKOP
Mari memperhatikann runtut
kisah ini, untuk mengetahui bagaimana hingga Saul melanggar perintah Samuel
tersebut yang kemudian berdampak buruk pada karir dan jabatannya sebagai raja
pertama di Israel.
1.
Kemampuan
strategi perang Saul (ay.1-3)
Kemampuan
memimpin perang dan semangat membela bangsanya, tidak perlu diragukan pada diri
Saul. Hal ini terlihat dalam kisah sebelumnya ketika ia berhasil mengalahkan
bangsa Amon yang mengancam kita Yabets-Gilead (lihat pasal 11:1-11). Bahkan
raja Saul dalam kemenangan itu tidak menjadikan ia sebagai raja yang arogan,
melainkan justru murah hati. Hal ini terlihat ketika ia tidak meluluskan
keinginan pengikutnya untuk membunuh mereka yang menentang Saul sebagai raja
(11:12-13).
Kemampuan
strategi perang Saul terlihat juga pada bacaan kita ketika ia hendak berperang
melawan Filistin di usia 2 tahun sebagai raja (ay.1). Ia membagi pasukan yang
berjumlah 3000 orang itu ke dalam dua regu pasukan, yakni 2000 orang bersamanya
di Mikhmas dan 1000 orang bersaman Yonathan (anaknya) di Gibea (ay.2).
Strategi
ini berhasil baik. Saul melalui pasukan Yonathan berhasil memenangkan perang di
daerah Geba dan memukul kalah orang Filistin (ay.3). Hal ini menyukacitakan
Saul, sehingga kemenangan ini diumumkan ke seluruh orang Ibrani yang dipanggil
berkumpul melalui bunyi Sangkakala.
2.
Merayakan
kemenangan memicu peperangan baru (ay.4-5)
Selanjutnya
berita ini tersebar dan meluas hingga sampai ditelinga orang Filistin. Reaski mereka
jelas, yakni marah dan merencanakan perang balasan atas kekalahan yang dialami.
Jumlah pasukan besar dikerahkan untuk membalas kekalahan di Gibea itu. Tidak tanggung-tanggung,
pasukan yang dikumpulkan 6000 orang pasukan berkuda dengan 3000 kereta perang
dan bahkam penulis kitab Samuel ini menyebut jumlah pasukan berjalan kaki sebanyak
sebanyak pasir di laut (ay.5)
3.
Dampak dari
kepanikan yang berlebihan (ay.6-12)
Sudah
pasti kondisi ini mengejukkan pasukan Israel. Kekuatan pasukan Filistin
berhasil mendesak pasukan Israel. Apa yang terjadi kemudian? Pasukan terserak-serak,
banyak yang lari menyelamatkan diri, bersembunyi di gua, bukit batu, perigi,
liang batu (ay.6). Para prajurit dan rakyat yang mengikuti Saul mengalami
ketakutan luar biasa. Mereka gemetar menghadapi orang Filistin (ay.7). Kondisi
ini sangat manusiawi. Siapapun pasti terkejut dan takut melihat pasukan besar
orang Filistin.
Walaupun
tidak menyebutkan bahwa Saul takut, namun dapat dipastikan bahwa sebagai raja
yang melihat kekalahan di ujung mata dan kocar-kacirnya rakyat yang ia pimpin,
sudah pasti sangat mengkuatirkan Saul. Apa yang Saul buat? Inilah awal
persoalannya. Dalam kepanikan itu Saul kemudian mempersembahkan korban bakaran
kepada Allah (ay.9). Mengapa ia melakukannya? Karena hingga 7 hari ia menunggu
Samuel, tetapi nabi itu tidak datang.
Fatalnya,
ketika selesai mempersembahkan korban bakaran itu, ternyata Samuel datang dan
hadir di tengah pasukan (ay.10). Sebagaimana disebutkan dalam pengantar tadi,
Saul mendapat perintah untuk menungu Samuel di Gilgal selama 7 hari, dimana
Samuel akan mempersembhakn korban di tempat itu dan memberikan petunjuk apa
yang akan dilakukan Saul selanjutnya (10:8). Kenyataannya, Saul tidak
mengindahkan perintah itu. Mengapa Saul melanggar perintah? Mengapa ia tidak
menunggu Samuel? Paling tidak ada beberapa alasan, yakni:
Pertama, Kepanikan Saul. Siapa yang tidak panik dan
takut. Raja yang baru saja 2 tahun memerintah, raja pertama yang masih belia
dihadapkan dengan kehancuran kerajaan yang baru dibentuk itu. Bukan hanya Saul
yang panik, tetapi juga seluruh rakyatnya. Kepanikan masal
mungkin adalah istilah yang tepat untuk kondisi saat itu. Sialakan bayangkan
situasi yang terjadi dan pemandangan di depan mata Saul. Yang dipikirkan Saul
adalah bagaimana supaya selamat menghadapi kehebatan Filistin. Sangat mungkin
ia terpikir “TUHAN” sebagai jalan keluar. Sehingga tidak heran, ia kemudian
berinisiatif untuk mempersembahkan korban bakaran kepada Tuhan.
Kedua, ketidak-sabaran Saul. Samuel berjanji bahwa ia akan
datang ke Gilgal setelah tujuh hari (10:8). Ternyata sampai pada waktu yang
ditentukan Samuel tidak datang (ay.9). Menunggu adalah pekerjaan membosankan. Apalagi
menungu dalam situasi yang mengerikan, terdesak dan dalam keadaan takut. Jalan pintas
menjadi satu-satunya peluang untuk keluar dari masalah itu. Tidak heran jika
Saul berinisiatif untuk segera mempersembahkan korban bakaran.
Andaikata
Saul menungu sedikit lagi dan memiliki kesabaran yang cukup, maka peristiwa itu
tidak akan terjadi. Sebab Samuel ternyata datang di hari ke-7 seusai korban
bakaran itu dipersembahkan Saul. Yah… ketidak-sabaran Saul, mentalitas instan
di situasi yang mendukung, membuatnya gagal untuk taat pada perintah yang tidak
berat itu, yakni menungu Samuel datang.
Ketiga, Rapat Pikiran. Perhatikan jawaban Saul di ayat 11
dan 12 ketika ia ditanya Samuel alasan ia membakar korban bakaran itu. Selain karena
ketakutan karena pasukan Filistin (ay.11), rupanya juga Saul sedang “rapat
pikiran”, dan berandai-andai, apa
jadinya jika Samuel tidak datang. Hasil buah pikirannya adalah segera membuat korban bakaran.
Saul mengandalkan buah pikirannya dan bukan mengandalkan ketaatan kepada
perintah Allah melalui kesepakatannya dengan Samuel tetntang waktu tunggu tujuh
hari itu.
Keempat, Tujuan baik jangan menghalalkan segala cara.
Saul tidak mendapat tugas untuk mempersembahkan korban di hadapan Allah. Ia bukan
imam, ia adalah raja yang bertugas memimpi umat. Tanggung-jawab untuk
mempersembahkan korban adalah tanggung-jawab Samuel. Tugas suci itu hanya boleh
dilakukan oleh Samuel sebagai nabi yang ditunjuk oleh Allah. Tetapi dengan
harapan mencapai kemenangan atau paling tidak mampu menghadapi Filistin, Saul
memberanikan diri mengambil tugas itu. Tujuannya baik, apalagi mempersembahkan
korban. Tapi tujuan yang baik itu tidak berarti kemudian mensahkannya melakukan
sesuai cara yang ia anggap baik. Inilah kesalahan Saul. Dan karena itu ia dianggap
tidak setia pada kehendak Tuhan sehingga kemudia kelak, posisinya sebagai raja
akan digantikan, sebagaimana di nubuatkan Samuel (ay.13)
RELEVANSI DAN APLIKASI
(Penerapan).
1. Saul dan perioritasnya[1]
Dalam perikop ini nyata bahwa Saul memiliki
prioritas berbeda dengan apa yang Tuhan kehendaki. Menjelang pertempuran
melawan Filistin, Samuel berjanji
akan datang dalam tujuh hari (8), tetapi ketika Samuel belum juga tiba, Saul tidak sabar
sehingga lancang mempersembahkan
kurban yang bukan tugasnya. Padahal Samuel datang pada waktunya, tepat sesuai
janjinya (10). Ketidaksabaran dan ketidaktaatan inilah yang menyebabkan Tuhan
mencabut janji-Nya atas kelanggengan dinasti Saul (14).
Dalam ayat 11-12, tampak bahwa Saul merasa
dirinya begitu superior dan dibutuhkan oleh umat - dan mungkin juga oleh
Tuhan - sehingga ia merasa
dibutuhkan untuk melakukan fungsi sebagai imam yang seharusnya hanya boleh dijalankan oleh Samuel.
Ia memberikan alasan
seolah-olah ia tengah melakukan pengorbanan pribadi dengan mengambil alih fungsi Samuel yang belum hadir.
Padahal sebenarnya ia tengah
bertindak impulsif, tidak sabaran, dan melakukan hal yang tidak berkenan kepada Tuhan! Ia mencoba
menjadi penguasa tunggal dengan
memusatkan kekuasaan politis dan agama di tangannya sehingga ia tak lagi membutuhkan kehadiran
Samuel sebagai imam.
Jelas bukan persembahan yang Tuhan inginkan,
juga bukan ritual keagamaan yang
Tuhan cari. Yang Tuhan kehendaki ialah ketaatan kepada-Nya. Saul hanya mementingkan kemenangan
politis bagi dirinya dan juga
kekuasaan serta kehormatan pribadi. Ia tidak lagi menempatkan Tuhan pada nomor satu dan ketika
Tuhan tidak lagi di nomor satu, Ia
juga tak akan bertahan lama di nomor dua. Di nomor berapakah Tuhan bagi kita? Kiranya Tuhan tetap menjadi perioritas utama
2. Andalkan Allah dan
ketaatan padaNya, bukan pikiran sendiri!
Saul gagal dan menjadikan keterlambatan Samuel sebagai
alasan dari pelanggaran itu. Analiasa dan buah pikir menjadi andalannya.
Komitmen untuk melakukan apa yang disepakati dan diperintahkan Allah melalui
nabi Samuel dilanggarnya. Mengapa?
Saul beralasan: “…maka pikirku: Sebentar lagi
orang Filistin akan menyerang aku di Gilgal, padahal aku belum memohonkan belas
kasihan TUHAN; sebab itu aku memberanikan diri, lalu mempersembahkan korban
bakaran." (ay.12). Saul mengandalkan kemampuan berpikirnya, bukan keyakinan dan
Iman bahwa Allah pasti hadir melalui kehadiran nabiNya itu.
Demikian juga kita. Apapun alasannya,
jangan hanya kemampuan berpikir dan melihat kenyataan di depan mata yang jadi
acuan kita membuat keputusan. Menanti dan menunggu jawaban Tuhan adalah hal
penting untuk dilakukan. Orang yang tidak sabar justru gagal menerima
pertolongan Tuhan. Inilah yang dialami Saul.
[1] Diambil dari Santapan
Harian edisi: Senin 12 Mei 2014. Lihat link tautan berikut: http://renungan.stefanussusanto.org/2014/05/e-sh-12-mei-1-samuel-131-22-ketika.html
No comments:
Post a Comment