IMAN YANG TERUJI
Bahan Bacaan Alkitab Ibadah Minggu
25 November 2018
PENGANTAR (Latar Belakang Kitab)
Surat ini ditujukan kepada orang
Kristen Yahudi diaspora yakni mereka yang tersebar dalam perantauan. Yakobus
menujukan surat ini kepada duabelas suku yang telah percaya kepada Yesus
Kristius (1:1).
Sepertinya, Yakobus melihat
berbagai persoalan yang sedang dihadapi oleh jemaat Tuhan ini dengan cara umum,
yakni tentang perbagai pencobaan hidup yang harus mereka alami sebagai kaum
pendatang maupun pencobaan iman sehubungan dengan status mereka sebagai orang
percaya (1:2-18); bagaimana seharusnya sikap orang percaya berhubungan dengan
Firman Tuhan yang telah mereka terima (1:19-27); relasi dan interaksi dalam
jemaat maupun di luar jemaat (2:1-13; 3:1-18); iman yang harusnya
diejawantahkan dalam perbuatan (2:14-26); dan beberapa pokok penting yang
berhubungan dengan tindakan, cara hidup serta sikap yang harus dilakukan oleh
seorang yang percaya kepada Yesus Kristus (4:1-5:20).
Dengan kata lain, jika tulisan
Paulus berbicara tentang begitu banyak kerygma dan hal-hal yang bersifat
doktrin teologis, surat Yakobus justru menitik beratkan pada aspek lain yakni
tindakan nyata dari tiap kerygma yang telah diimani itu. Bagaimanakah seorang
bercaya bersikap? Bagaimana memandang harta itu? Apa yang dilakukan jika
merencanakan hari esok? Jika ada penderitaan dan persoalan hidup apakah yang
harus diperbuat sebagai orang percaya? Dan masih banyak lagi berbagai hal yang
sifatnya tindakan nyata sebagai orang Kristen yang diajarkan Yakobus.
TELAAH PERIKOP (Tafsiran)
Perikop
ini 1:12-18 berbicara tentang pencobaan dan ujian iman. Istilah yang
dipakai Yakobus untuk “pencobaan” berasal dari bahasa Yunani πείρασμόζ (baca: peirasmos) yang berarti pencobaan atau pembujukan. Yakobus membedakan
pencobaan berdasarkan asalnya menjadi dua bagian, yakni pencobaan yang datang dari luar diri yang biasa diidentikkan dengan
kesukaran hidup, penganiayaan dan penderitaan (band.1:2-4) atau rencana Iblis
untuk menyurutkan iman melalui kegagalan dan derita (bd. Kisah Ayub); dan pencobaan yang datang dari dalam diri
sendiri karena keinginan daging yang menggiring manusia untuk terbujuk
menjauhi Allah dan memberontak kepadaNya (band. 1:13,14). Itulah sebabnya,
berdasarkan jenis kedua ini, Yakobus menegaskan bahwa pencobaan tidak berasal
dari Allah. Allah jangan “dikambing-hitamkan” pada kejatuhan manusia dalam dosa
akibat dorongan dirinya sendiri karena keinginan dagingnya.
Cara menghadapi jenis kedua dari
pencobaan ini, yakni pencobaan dari dalam berupa keinginan daging dan hawa
nafsu adalah dengan bertahan sehingga terkategori sebagai pribadi yang tahan
uji (ay.12). Mengapa tahan uji itu begitu penting? Menurut Yakobus, tahan
uji akan melahirkan ketekunan (1:3). Istilah ketekunan ini di gunakan Yakobus dari istilah Yunani ύπομονή (baca: hupomone) yang berarti ketekunan,
kesabaran, ketahanan sebagai suatu kemampuan menghadapi sesuatu yang sulit
dan sukar. Dengan kata lain, tidak akan ada ketekunan, ketahanan dan kesabaran
jika tidak melalui pencobaan dan kesukaran hidup. Sebagaimana baja atau besi
harus ditempa dan dibakar untuk kemudian menjadi sebuah mata bajak atau pedang,
demikian juga kehidupan umat Tuhan. Seringnya ditempah dan dilatih akan membuat
setiap orang mempunyai kemampuan untuk bertahan atau bertekun sehingga dengan
sabar menghadapi pencobaan itu.
Inilah alasan mengapa kemudian
pada ayat 12 bacaan kita, Yakobus menyebut “berbahagialah”. Seorang
hanya disebut berbahagia dalam konteks ini jika ia mampu bertahan dalam
pencobaan dan melewati ujian iman itu untuk kemudian menerima mahkota
kehidupan. Dengan kata lain, kebahagiaan itu bukan karena mendapat
pencobaan, melainkan karena mendapat mahkota di ujung akhir, jika mampu
bertahan terhadap cobaan iman yang dihadapi.
Selanjutnya, Yakobus mengingatkan
bahwa pencobaan itu tidak datang dari Allah melainkan dari keinginan
daging manusia (ay.14) yang jika tidak bertahan pada godaan itu, akan
membuahkan dosa yang berujung pada maut (ay.15). Penegasan ini penting,
karena jangan sampai akibat perbuatan dosa karena menuruti hawa nafsu, orang
percaya kemudian menjadi “Pilatus” yang “cuci tangan” untuk mencari kambing
hitam, yakni menyalahkan Tuhan yang memberikan pencobaan kedagingan tersebut.
Berbeda dengan 1:2-3, pencobaan yang dimaksud adalah penderitaan akibat iman
kepada Allah. Jenis cobaan pertama ini disebut ujian iman, yakni apakah ketika
menghadapi penderitaan orang tetap bertahan pada imannya tersebut atau
meningalkan Kristus. Sedangkan pada 1:13,14, pencobaan dimaksud adalah keinginan
daging yang mau dipuaskan sehingga melanggar kehendak Allah. Jenis ini disebut
dengan pencobaan dari dalam diri.
RELEVANSI DAN APLIKASI (Penerapan).
Siapapun kita
pasti akan menghadapi pencobaan iman yang membawa kita mengalami penderitaan
hidup ataupun godaan kedagingan yang menggiring kita ke dalam dosa. Firman
Tuhan hari ini memberikan pentunjuk praktis bagaimana mengahadapi derita itu.
Jika harus menghadapi penderitaan itu
seakan suatu kebahagian, maka hal ini mengisyaratkan kepada kita untuk melihat
sisi positif dari penderitaan tersebut. Perhatikan bunyi surat 1 Korintus 10:13
berikut ini:
Pencobaan-pencobaan
yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan
biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu
kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat
menanggungnya.
Bahwa pencobaan
yang diterima tidak melebihi kekuatan kita. Hal ini mengandung makna jika kita
menganggap hanya sanggup memikul 10 kg dan Tuhan memberi 20 kg, itu berarti
Tuhan mengukur dan mengetahui kekuatan kita yang tak pernah kita bayangkan.
Bersyukurlah jika masih diberikan pencobaan dengan nilai tertentu, karena Tuhan
masih mengganggap kita mampu memikulnya. Bahkan janji yang indah dari Tuhan
adalah kita akan memperoleh jalan keluar.
Perhatikanlah bahwa pemberian jalan keluar oleh Tuhan bukan berarti bahwa kita
dapat keluar dan lari dari pencobaan tersebut, sebagai cara mengatasinya. Namun
bagian akhir dari ayat ini adalah suapaya kamu
dapat menanggungnya. Dengan kata lain pencobaan membuat kita memperoleh
mentalitas pejuang dan bukan mentalitas gampangan.
Hal yang perlu
kita ingat ketika menghadapi pencobaan hidup adalah bahwa Tuhan tidak pernah merancangkan kecelakaan, melainkan rancangan damai
sejahtera (Yer.11:29). Hal ini berarti setiap pencobaan dan penderitaan
bukanlah tujuan akhir; bukan pula kehancuran total. Sebab tujuan akhir dari
pencobaan itu adalah kesempurnaan
dan keutuhan hidup yang disebut
sebagai buah yang matang (ay.4).
Firman Tuhan harus menjadi kekuatan dan landasan kuat kita ketika menghadapi
pencobaan hidup. Bukankah Tuhan Yesus ketika dicobai oleh Iblis selalu
menggunakan Firman Tuhan untuk menghadapi tiga mencobaan yang datang saat
berada di padang gurun? Karena itu gunakanlah Firman Tuhan sebagai senjata
menghadapi cobaan demi cobaan yang menghadang hidup beriman kita.
Namun tidak
semua orang mampu berpikir dan siap menghadapi pencobaan seperti yang
disebutkan di atas. Sebab kadangkala derita hidup membuat kita justru
kehilangan kekuatan percaya dan memilih melakukan keinginan daging supaya tetap bahagia. Lalu
ketika jatuh dalam dosa karena gagal bertekun dan tidak tahan uji, kita
menyalahkan Tuhan yang mengijinkan pencobaan itu. Hati-hati, itu suatu
kebodohan. Sebab Allah tidak pernah mencobai umatNya (ay.13), kita sendirilah
yang lebih mau bebas dari kewajiban moral iman percaya dan memilih bahagia
secara semu yakni menikmati keinginan daging (ay.14). Sebab dari semula rancangan
Allah adalah kebenaran dan kebaikan. Maka bagaimana mungkin mengijinkan kita
dengan sengaja mau jatuh dalam dosa. Berpikir secara demikian menurut Yakobus
adalah kesesatan (ay.16-18). Karena itu, bertobat lebih tepat dari pada
menyalahkan Allah dan kita lari dari tanggung-jawab.
Karena itu yang harus kita perbuat bukan “menyalahkan” Allah
melainkan mencari Allah dalam cobaan yang berat itu. Tuhan pasti
memampukan kita menghadapi tiap pencobaan hidup ini, tak peduli jika hal itu
terberat sekalipun. Andalkan Tuhan, dan jangan andailakan diri sendiri. Kita
membutuhan Tuhan dan hikmatNya menghadapi tiap pencobaan hidup ini. Amin.