AKU HANYA MENJALANKAN KEWAJIBAN AGAMAKU
Upaya Memposisikan Diri Sebagai Seorang
Imam dan Orang Lewi
Dalam Perumpamaan Orang Samaria Yang
Baik Hati Yang Diceritakan Yesus
Menurut Injil Lukas 10:25-37
Pdt. I Nyoman
Djepun
P E N D A H U L U A N
Membaca
perumpamaan Tuhan Yesus pada injil Lukas 10:25-37 tentang “Orang Samaria Yang
Baik Hati”, umumnya banyak orang menganggap bahwa tindakan seorang Imam dan
orang Lewi yang hanya meninggalkan orang yang hampir mati itu, merupakan
tindakan tidak terpuji, tidak berperi-kemanusiaan; dan bahkan dianggap tidak
seharusnya dilakukan oleh seorang agamawan. Alasan utama pendapat ini adalah
karena imam dan orang lewi tersebut tidak memberikan pertolongan, sebagai
orang-orang yang memperoleh kesempatan pertama untuk menolong. Di sisi lain,
tindakan “orang Samaria yang baik hati ini” justru kontras dengan sikap
para rohaniawan tersebut.
Uraian berikut ini mencoba untuk melihat kisah perumpamaan ini dengan “sudut pandang yang
baru” dengan cara menempatkan diri sebagai imam dan orang Lewi dalam cerita
tersebut. Dengan menempatkan diri sebagai mereka, kiranya dapat diketahui
alasan dan latar belakang dari tindakan keduanya yang seakan memberi kesan gagal
menjadi sesama manusia bagi seorang korban perampokan di jalan Yerusalem ke
Yerikho.
JALAN
PENGHUBUNG KOTA YERUSALEM KE YERIKHO
Jalan dari Yerusalem menuju ke Yerikho hanya 27 kilometer
(17 mil) panjangnya, dan di sekitar jalan ini terbentang jalan yang menurun
sekitar 1.000 meter.[1] Wilayah ini sebenarnya
tidak berpenduduk, tidak ada tanaman, dan ditandai dengan adanya batu-batu
karang kapur dan jurang di kedua sisi jalan. Pada zaman Alkitab, jalan tersebut
diberi nama "jalan berdarah," kemungkinan besar karena dianggap tidak
aman. Rute ini sering dilewati oleh para peziarah dan para kafilah. Dari waktu
ke waktu mereka dirampok oleh bandit-bandit yang bersembunyi di belakang
batubatu kapur.[2]
Dengan demikian,
dapat dipastikan bahwa jalan yang dilalui oleh orang yang dirampok pada
perumpamaan “Orang Samaria Yang Baik Hati” itu merupakan jalan yang
rawan, sulit dilalui serta tidak aman bagi para penggunanya. Tidak heran jika perampokan
terjadi di situ. Kemungkinan besar kisah yang diangkat oleh Yesus, dalam
perumpamaan ini, adalah peristiwa yang pernah terjadi walaupun tokoh-tokoh
fiktif menghiasi kisah tersebut.
YERUSALEM DAN YERIKHO
Terdapat dua tempat
yang disebutkan oleh Yesus dalam perumpamaan ini, yakni Yerusalem dan Yerikho.
Kedua tempat ini memang berbeda, namun memiliki konektivitas yang dalam dengan
kisah ini secara khusus dengan dua tokoh pertama, yakni Iman dan Orang Lewi.
Kota Yerusalem adalah salah satu kota termasyur
di dunia yang sudah berdiri sejak milenium 3sM. Kota ini terletak menjulang
tinggi di punggung bukit pegunungan Yehuda, dan terletak kr 50km dari Laut
Tengah dan kr 30km sebelah barat ujung utara Laut Mati. [3] Di kota inilah bangunan suci
orang Israel yakni Bait Allah (biasa disebut Bait Suci)[4] berdiri megah yang menjadi pusat
peribadahan dan penyembahan umat kepada Allah.
Kota Yerikho dalam PL biasa dianggap sama
dengan bukit Tel es-Sultan yang terletak kr 16km sebelah
Baratlaut muara sungai Yordan sekarang di Laut Mati, kr 2km Baratlaut dari desa
er-Rikha (kota Yerikho Modern), dan 27km Timurlaut dari kota Yerusalem. Kota
ini berbentuk jambu biji dengan ukuran panjang kr 400m utara-selatan dan lebar
ujung utaranya kr 200m dengan tinggi kr 20 meter. Berbeda dengan Perjanjian
Lama, kota Yerikho menurut Perjanjian Baru, khususnya pada zaman Herodes
terletak di bukit Tulul Abu el-‘Alayiq, 2 km sebelah Barat desa er-Rikha
modern. Dengan demikian, letak kota Yerikho dalam PB dan dalam kisah ini berada
di sebelah selatan kota Yerikho dalam Perjanjian Lama.[5] Kota ini kemudian terkenal
memiliki jumlah penduduk yang sangat tinggi. Kota ini juga merupakan tempat
tinggal para imam.
Mengapakah orang-orang
ini berjalan melalui jalur Yerusalem-Yerikho ini? Tampaknya sebagian besar imam
dan orang Lewi yang bertugas di Bait Suci tidak tinggal di Yerusalem tetapi
ditempat lain[6].
Yerikho merupakan salah satu tempat tersebut. Diduga ada kurang lebih 12 ribu
imam dan orang Lewi tinggal disana[7] (jumlah total imam Bait
Allah adalah sekitar 7200 orang dengan jumlah orang Lewi yang lebih banyak
lagi) [8]. Berdasarkan fakta ini
maka adalah wajar jika Imam dan orang Lewi melakukan perjalanan melalui jalur
tersebut.
SIAPAKAH
IMAM DAN ORANG LEWI ITU?
Imam adalah
orang-orang yang bertugas menjalankan ritual keagamaan di Bait Suci. Para imam
ini dibagi menjadi 24 kelompok yang setiap kelompok bertugas selama 1 minggu
per waktu sebanyak 2 kali dalam satu tahun. Meskipun begitu dalam hari-hari
raya besar mereka semua diminta untuk bertugas.[9] Sedangkan Orang Lewi
juga merupakan petugas dalam Bait Suci. Tugas mereka ialah bernyanyi dan
memainkan musik untuk ibadah-ibadah yang berlangsung, membantu pekerjaan para
imam dan menjadi penjaga[10]. Mengingat bahwa
kehidupan bangsa Yahudi berpusat kepada Bait Suci maka tentulah orang-orang
yang bertugas dan melayani disana memiliki status sosial dan kebanggaan
tersendiri.
MENGAPA
MEREKA MENGABAIKAN ORANG YANG DIRAMPOK ITU?
Dalam
ayat 31-32 dikatakan dalam teks ada seorang imam dan lewi yang melewati daerah
tersebut dan menemukan orang yang sedang tergeletak di jalan tersebut yang baru
saja di rampok dan dipukuli sampai setengah mati. Namun, imam tersebut hanya
melewatinya saja dan tidak menolongnya. Membayangkan situasi yang ”setengah
mati” tersebut dengan perspektif melihat dari kejauhan, tentulah imam tersebut
tidak bisa membedakan apakah sudah mati atau masih kritis “setengah mati”
sebagaimana tertulis dalam ayat 30.
Ia
tidak menolong kemungkinan disebabkan karena ia teringat akan ketentuan bahwa
barangsiapa yang menyentuh orang mati maka ia menjadi najis selam tujuh hari
(Bil 19:11). Imam ini ragu-ragu apakah ia masih hidup atau sudah mati, oleh
karena itu ia tidak mau menolongnya. Selain ia menjadi najis dan tidak dapat
melakukan kegiatan di Bait Allah, maka agar dapat menjadi tahir kembali,
seorang imam harus melakukan ritual yang rumit dan juga membutuhkan biaya yang
mahal untuk melakukan pentahiran tersebut (Bil 19:1-10). Sehingga kemungkinan
dengan alasan tersebut imam ini tidak menolong orang ini dan lebih mementingkan
kehidupan pribadinya daripada menolong sesama.[11]
Kemudian
di ayat 32 juga dikatakan bahwa orang Lewi juga melihat orang yang tergeletak
tersebut, namun dia juga tidak menolongnya. Alasan yang sama seperti dengan
Imam kemungkinan menjadi penyebabnya. Selain itu, biasanya para bandit
mempunyai strategi untuk menarik mangsanya. Bisa saja orang yang sedang
terbaring itu adalah salah seorang anggota mereka sendiri yang bertindak
sebagai korban. Kalau orang Lewi itu berhenti disitu maka dengan tiba-tiba para
perampok juga akan menyergap dia dan merampok harta bendanya. Orang Lewi
terkenal dengan semboyan “pertama-tama adalah keamanan diri”, jadi ia tidak mau
mengambil resiko dengan menolong orang tersebut.[12] Selain takut jika korban
itu adalah stategi yang digunakan oleh perampok, kemungkinan orang Lewi juga
takut menjadi najis mengingat ia mempunyai tugas di dalam Bait Allah seperti
yang telah dijelaskan di atas.
SALAHKAH
AKU JIKA INGIN MENJALANKAN KEWAJIBAN AGAMAKU?
Dari
uraian di atas, maka di saat kita menempatkan diri sebagai orang lewi dan imam
dalam perumpamaan Yesus mengenaii Orang Samaria Yang Baik Hati tersebut,
terdapat beberapa penekanan penting untuk dapat dijadikan alasan mengapa
tindakan mereka berdua dapat dianggap “tindakan tak keliru” saat
mengabaikan orang yang hampir mati tersebut, yakni:
1. Siapakah
orang yang sedang “setengah mati” akibat dianiaya oleh para penyamun tersebut?
Sepertinya, Yesus tidak fokus pada tokoh yang terkena musibah tersebut. Hal ini
terlihat dari tidak diuraikannya oleh Yesus latar belakang korban (status
sosial, kebangsaan dll). Alkitab menyebut hanya 1 kepastian yakni ia telah
dianiaya dan saat itu sedang sekarat atau hampir mati. Istilah “setengah mati”
bisa berarti hampir mati, yakni kondisi yang terlihat seakan ia sudah mati (tak
bergerak, penuh luka dan darah). Di mata imam dan orang Lewi orang setengah
mati ini seperti sudah mati dan menjadi mayat. Walau ternyata kenyataannya, ia
belum mati. Tetapi apakah mereka berdua tahu bahwa sang korban belum mati? Atau
mereka hanya tahu bahwa dijalan itu jenasah orangg mati?
2. Merujuk
pada Imamat 21:1 yang menyebutkan: “TUHAN
berfirman kepada Musa: "Berbicaralah kepada para imam, anak-anak Harun,
dan katakan kepada mereka: Seorang imam janganlah menajiskan diri dengan orang
mati di antara orang-orang sebangsanya,” menunjukkan bahwa tindakan seorang Imam pada
perumpamaan tersebut, didasarkan atas ketaatannya pada perintah TUHAN sendiri. Demi
menjaga kekudusan dirinya sebagai pelayan di Rumah TUHAN, maka ia memilih
menghindari “sesuatu” yang terlihat seperti jenasah tersebut. Dengan kata lain,
bahwa ia sendiri terikat pada ketentuan agamanya sendiri, yang melarang dirinya
sebagai imam untuk menyetuh orang mati. Menyentuh orang mati membuatnya menjadi
najis. Dan dampak dari kenajisan tersebut adalah tertutupnya kesempatan bagi
mereka sebagai pekerja Bait Allah untuk melayani Allah.
3. Selanjutnya,
apabila memperhatikan Taurat dalam kitab bilangan 19:11, kita mendapat
penjelasan bahwa lamanya seseorang menjadi najis karena menyentuh mayat adalah
7 (tujuh) hari, maka cukup beralasan bahwa sangat beresiko bagi kedua pelayan
Bait Allah itu apabila menolong orang yang “setengah mati” tersebut yang
terlihat menurut mereka adalah jenasah orang mati. Adalah sangat mungkin dengan
kurun waktu yang lama itu (satu minggu) mereka tidak dapat menjalankan tugas
sebagai imam dan sebagai orang lewi dalam penugasan khusus tersebut.
Dari
3 (tiga) poin penting ini, maka kita menemukan dalam persepktif kewajiban dan
ketentuan agama dan secara khusus sebagai pelaksana kegiatan keagamaan, imam
dan orang lewi justru tidak gagal, melainkan karena ketaatan pada kaidah
agamanya-lah hal itu mereka lakukan. Pengabaian terhadap orang yang dirampok
tersebut tidak dapat disalahkan kepada mereka apabila berada dalam usaha
menjalankan kewajiban agama.
ADAKAH
YANG TERLEWATKAN (refleksi penutup)
Uraian
di atas tidak bermaksud membenarkan imam dan orang lewi atas tindakan mereka.
Tetapi mencoba berada diposisi mereka dan menemukan perspektif yang benar dari
sudut pandang kedua orang tersebut. Tetapi, apakah tindakan mereka benar secara
kemanusiaan? Perumpamaan Yesus tidak berkonteks pada kewajiban melaksanakan
panggilan keagamaan Yahudi. Perumpamaan Yesus justru berada pada latar
pertanyaan: “siapakah sesamaku manusia?” Hal ini berarti, Yesus sedang
menjawab bagaimana seharusnya BERSIKAP SEBAGAI SESAMA MANUSIA.
Inilah
kegagalan orang lewi dan imam tersebut dalam perumpamaan Yesus. Benar
bahwa mereka menjalankan kewajiban agama dengan baik, tetapi mereka gagal berprilaku
sebagai sesama manusia bagi orang yang hampir mati itu. Yesus tidak bicara soal
kewajiban aturan keagamaan, tapi Yesus mengoreksi kegagalan prilaku kemanusiaan
seorang yang beragama dan pengajar keagamaan yakni si penanya yang adalah ahli
Taurat. Mengasih Allah dengan menjalankan kewajiban agama secara liturgis
adalah baik. Tetapi lebih mulia dan lebih berkualitas hidup keagamaannya
apabila ia mengasihi Allah dengan cara mengasihi sesamanya manusia sebagai
ciptaan Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), 2006
Barclay, W., Pemahaman Alkitab Setiap Hari Injil Lukas, Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2011
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II, Jakarta: Yayaysan Komunikasi Bina Kasih, 2007
e-Sword, Albert
Barnes' Notes on the Bible, Lukas 10:30
Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius – Wahyu, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2003
Wahono, S. W. , Di
Sini Kutemukan : Petunjuk Mempelajari dan Mengajarkan Alkitab, Jakarta:
Gunung Mulia, 2011
ONLINE SOURCE
http://www.sarapanpagi.org/25-orang-samaria-yang-murah-hati-vt1699.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Bait_Allah_(Yerusalem)
[1] Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius – Wahyu, (Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2003), hlm. 219.
[2] Cerita-cerita
mengenai perampok-perampok di jalan raya sepanjang jalan ke Yerikho telah
dicatat sejak dahulu sampai sekarang. Misalnya, lihat komentar Jerome tentang
Yeremia 3:2. Lihat: http://www.sarapanpagi.org/25-orang-samaria-yang-murah-hati-vt1699.html
(diakses pada tanggal 19 Desember 2015.
[3] Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II, (Jakarta:
Yayaysan Komunikasi Bina Kasih, 2007), hlm. 571
[4] Menurut
sejarahnya, Ada dua Bait Suci
yang berdiri berturut-turut di Bukit Bait Suci di
Yerusalem:
·
Bait Suci Salomo yang
dibangun sekitar abad ke-10 SM untuk menggantikan Kemah Suci.
Bangunan ini dihancurkan oleh bangsa Babel di bawah Nebukadnezar pada
tahun 586 SM.
·
Bait Suci Kedua dibangun
setelah bangsa Yehuda kembali dari pembuangan di Babel, sekitar tahun 536 SM (selesai pada 12 Maret 515 SM[1]).
- Bait Suci Herodes adalah
perluasan dari Bait Suci Kedua termasuk renovasi
atas seluruh Bukit Bait Suci. (Bangunan ini tidak
disebut "Bait Suci Ketiga".) Herodes Agung memulai
proyek perluasannya sekitar tahun 19 SM.
Bangunan ini dihancurkan oleh pasukan-pasukan Romawi di
bawah Kaisar Titus pada tahun 70 M. Namun
sebagian sejarahwan menduga bahwa orang-orang Yahudi sendiri telah
membakar Bait Suci Kedua agar tidak dicemari.
Lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Bait_Allah_(Yerusalem)
diakses pada tanggal 19 Desember 2015
[5] I b i d, hlm. 567
[6] E. Ferguson, Backgrounds of Early
Christianity, (Michigan : Eerdmans Publishing Co., 2003), hlm. 565
[7] e-Sword, Albert Barnes' Notes on
the Bible, Lukas 10:30
[8] S. W. Wahono, Di Sini
Kutemukan : Petunjuk Mempelajari dan Mengajarkan Alkitab, (Jakarta:
Gunung Mulia, 2011), hlm. 324
[9] E. Ferguson, ibid.,
h.565
[10] S. W. Wahono,, ibid., h.324
[11] Barclay, W., Pemahaman Alkitab Setiap Hari Injil Lukas, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2011), hlm. 199-201
[12] Ibid., h. 199-201
No comments:
Post a Comment