AMSAL
1:15-19
PENDAHULUAN
Kitab
Amsal dalam bahasa Ibrani adalah “Mishele
Shelomo” yang berarti Amsal Salomo
(1:1). Amsal memperoleh nama dari isinya, yakni pepatah atau peribahasa yang
menyampaikan kebenaran dengan cara perbandingan. Kata ‘amsal’ (Ibrani :
masyal) artinya melambangkan, menyerupai, misal, perumpamaan, dan juga dapat
berarti paralel, serupa atau perbandingan. Dalam kitab lain masyal mungkin
berarti sindiran (Ul . 28 :37, Yeh. 14 :8), atau nyayian ejekan
(Yes. 14 :4) dimana orang-orang yang dimaksudkan jelas menjadi contoh
pengajaran.
Kitab
Amsal digolongkan ke dalam kitab hikmat. Amsal adalah pengajaran moral
dan spiritual tentang bagaimana sikap hidup setiap hari. Amsal merupakan ucapan
hikmat dari guru-guru yang mengetahui hukum Allah dan ingin menerapkan
prinsip-prinsipnya pada segala aspek kehidupan. Inti pengajaran dari kitab “Amsal adalah hiduplah takut akan Tuhan”. Kehidupan yang tidak takut akan Tuhan menuju kepada
kebebalan hidup tanpa kendali. Jadi tujuan Amsal adalah memberi petunjuk
bagaimana melakoni hidup yang sukses dengan memberikan ilustrasi baik secara
positif maupun negatif.
TELAAH PERIKOP
Penulis
kitab Amsal ini mengindentifikasi dirinya sebagai orang tua yang sedang
memberikan wejangan hikmat kepada anaknya. Hal ini terlihat pada ayat 8, 10 dan
15 ketika ia menyapa pembaca dengan sebutan: “hai anakku”. Untuk memahami isi
dari ayat 15-19, maka sangat perlu bagi kita untuk membaca dan memaknai
keseluruhan perikop, yakni ayat 8-19 sebagai kesatuan yang utuh.
Ada
beberapa pengajaran hikmat yang disampaikan Salomo kepada pembaca kitabnya
dalam keseluruhan perikop ini, yakni:
1. Salomo
membagi dua jenis pengajar atau dua jenis sumber didikan. Sumber didikan yang
pertama adalah orang tua atau ayah dan ibu (ay.8). sumber didikan yang kedua
adalah “orang berdosa” (ay.10).
2. Dengan
tegas Salomo mengarahkan bahwa reaksi yang harus diberikan ketika menerima
didikan orang tua adalah mendengarkan dan tidak menyia-nyiakan tiap
pengajaran mereka, sebab kebaikan (karangan bunga) dan keindahan hidup (kalung
bagi lehermu) akan menjadi milik mereka yang patuh dan taat pada didikan orang
tua.
Bagaimana reaksi yang harus diberikan terhadap sumber
didikan yang berasal dari orang jahat atau orang berdoa? Dengan tegas, Salomo
pada ayat 10 memerintahkan untuk tidak boleh menurut dan mematuhi setiap didikan dan
godaan dari sumber kejahatan dan sumber dosa.
3.
Pada ayat 11-14 kita menemukan alasan mengapa perlu menolak
didikan dari orang berdosa. Salomo memberikan beberapa contoh didikan lewat
bujukan jahat dari orang berdosa yang harus di tolak:
- Mereka mengajar
membunuh orang tak bersalah dengan tanpa belas kasihan sedikitpun (ay.11-12).
- Menjadi kayak
sangatlah mudah. Cukup dengan merampok dan merampas harta benda orang lain
(ay.13). Menentukan korban dan target rampasanpun cukup lewat buang undi, maka
pundi2 kekayaan mereka akan menjadi milik kita (ay.14).
4.
Dengan alasan didikan dan bujukan jahat itulah, Salomo
meminta agar jangan mengikuti bujuk rayu tersebut. Dengan tegas Amsal
memerintahkan agar jalan jahat itu jangan dicontohi. Istilah “tahanlah kakimu dari pada jalan
mereka” (ay.15) menunjuk soal meneladani dan atau mencontohi gaya hidup dan jalan hidup. Dengan kata lain, penulis
Amsal ini menekankan bahwa mengikuti jalan hidup orang berdosa sama artinya
dengan mematuhi dan mendengarkan didikan dan ajaran mereka.
5.
Terdapat hal menarik yang disampaikan oleh Salomo pada ayat
17-19 bacaan kita untuk menunjuk siapakah sesungguhnya orang berdosa yang
melakukan kejahatan tersebut. Salomo mengandaikan bahwa perbuatan orang berdosa
itu bagaikan seekor burung yang terbang tanpa menyadari jerat jaring yang
dibentangkan dihadapannya (ay.17). Sudah pasti ketika burung itu terbang bebas
dan kenjang tidak mengetahui jaring didepannya, hasil akhir adalah kematiannya
sendiri (ay.18).
Demikian
juga dengan kebodohan orang berdosa ketika mengerjakan dosa. Seakan merasa
bebas dan leluasa melakukan perbuatan jahat itu tanpa harus menanggung beban
sedikitpun. Membunuh, merampok dan menjarah tanpa belas kasihan menjadi
kesukaan yang tiada tara. Mereka berpikir bahwa tidak akan konsekuensi logis
dari dosa tersebut. Namun, suatu saat nanti tanpa di sadari, di depan telah
menanti jaring penghakiman atas segala perbuatan jahat mereka. Upahnya adalah
kematian dan kesengsaraan.
6.
Pada bagian akhir perikop ini yakni ayat 19, Salomo
menyimpulan pengajarannya dengan penekanan ajaran “tabur tuai”. Mereka adalah seperti
burung yang melihat perangkat, tetapi tidak menyadari bahwa mereka telah masuk
kedalamnya. Mereka bangkit untuk membunuh orang lain, justru merekalah yang
menjadi korbannya. Kekayaan yang mereka dapatkan dari hasil kejahatan akan
merampas mereka dari kehidupan mereka. Memang, orang yang mencari nafkah dengan
memakai kekerasan akan membayarnya dengan nyawanya sendiri.
RELEVANSI DAN APLIKASI
Dari beberapa pokok
uraian perikop ini, terdapat beberapa hal penting untuk direlevansikan dalam
kehidupan kita, yakni:
1.
Perhatikanlah bahwa menurut Salomo ada dua sumber didikan,
yakni summber didikan yang baik dan sumber didikan yang jahat. Sumber didikan
yang baik datang dari orang tua; dan sumber didikan yang jahat akan datang dari
bujukan orang berdosa.
Jika
Salomo menunjuk bahwa sumber didikan yang baik datang dari orang tua, maka
pernyataan ini justru harus menjadi evaluasi diri yang dalam bagi kita para
orang tua. Evaluasi dimaksud berupa uji kopetensi diri dan kemampuan diri
sebagai sumber didikan yang baik. Apakah sebagai orang tua kita telah
mengajarkan apa yang baik? Benarkan bahwa dalam giat dan laku kita sebagai
orang tua, anak menemukan teladan yang patut dicontohi untuk menjadi panutan
yang benar dalam hal ajaran dan didikan?
Dengan
demikian, tugas utama sebagai orang tua adalah menjadi pengajar dan pendidik
yang baik. Tugas mulia ini harusnya dilakukan dengan takut akan Tuhan (ay.1).
Artinya, ukuran ajaran itu baik adalah dalam bingkai takut akan Tuhan. Orang
tua harus mengajarkan sesuatu yang terbingkai dalam ajaran takut Tuhan. Ukuran
ini sangat jelas dan tak terbantahkan. Sehingga perintah penting bagi kita para
orang tua adalah harus menjadi pribadi yang takut akan Tuhan untuk dapat
mendidik dan mengajarkan kebenaran kepada anak-anak kita. Sebab bukankah ada
banyak peristiwa tak terbantahkan bahwa kejatuhan anak dalam dosa ketika salah
menjalani hidup ini datangnya dari didikan orang tua yang keliru?
2.
Di era teknologi canggih dan kemajuan zaman saat ini,
sumber pengajaran bukan hanya datang dari perjumpaan dan bujuk rayu orang-orang
jahat. Jikalau Salomo menyebut bahwa bujuk rayu orang jahat jangan dituruti
karena mendatangkan dosa, maka pemahaman ini perlu diluaskan di tengah kemajuan
jaman.
Sebagai
orang tua, kita diajak untuk berhikmat dan bijaksana. Bahwa di zaman teknologi
maju saat ini kita tidak hanya mengawasi pergaulan mereka dengan orang jahat
yang akan mendatangkan dosa. Sebab kemajuan teknologi saat ini justru adalah
salah satu sumber terbesar hadirnya pengajaran yang jahat dan sesat.
Perhatikanlah
dan pilahlah acara televisi yang patut di tonton untuk pengajaran yang sehat;
perhatikan pula penggunaan internet dan kejahatan dunia maya teknologi
komunikasi (handpone, tablet dll) yang sudah terbukti menjerat banyak orang
dalam dosa. Dengan kata lain, fungsi orang tua dalam mendidik bukan hanya
mengajarkan hal yang baik namun juga memiliki waktu yang cukup untuk mengawai
sumber2 pengetahuan lain yang mereka peroleh dierah globalisasi dan kemajuan
teknologi ini.
3.
Bagaimanapun, apa yang kita tabur itu yang akan kita tuai.
Hal ini memberi makna penting dalam hal menjadi teladan sebagai orang tua
kepada anaknya; dan menjadi pengajar yang baik bagi mereka. Pengajaran yang
keliru akan menuai keburukan bagi mereka. Pola hidup tidak benar dari kita
orang tua, akan membentuk karakter hidup tidak benar dalam diri anak-anak kita.
Karena itu marilah
menjadi pengajar yang baik. Ajarkanlah kebenaran lewat takut akan Tuhan. Maka
anak2 karunia kita akan menjadi pribadi yang baik dan benar di mata Allah dan
beroleh masa depan yang cerah. Amin.