1 KORINTUS 4:1-5
Jemaat Kekasih Kristus
Apa yang terjadi jika seseorang dihakimi
orang lain padahal ia tidak melakukan kesalahan? Pastilah ingin membela diri.
Inilah yang terjadi pada Paulus. Jabatan kerasulannya dipertanyakan oleh orang
Korintus, hanya karena ada tokoh penginjil yang baru yakni Apolos yang juga
melayani jemaat itu. Paulus dalam bacaan kita ini berusaha untuk meluruskan
kesalah-pahaman ini dengan begitu rendah hati tanpa sedikitpun menyalakan Korintus
ataupun Apolos.
Paulus merasa perlu menegaskan posisinya
sebagai hamba Kristus (4:1) untuk menghindari kesalahpahaman dari jemaat
Korintus. Para rasul memang milik jemaat (3:21-22), tetapi hal itu tidak
berarti bahwa mereka dapat diperlakukan semau jemaat. Mereka memang melayani
kebutuhan keselamatan jemaat (lihat pembahasan di pasal 3:21-23), namun mereka
tetap adalah hamba Kristus, bukan hamba mereka. Sebagai hamba Kristus, para
rasul bertanggung-jawab kepada Kristus yang menjadi tuan mereka. Kristuslah
yang berhak menghakimi mereka, bukan jemaat Korintus.
Jemaat Kekasih Kristus
Ada 5 hal penting yag disampaikan Paulus
dalam bacaan kita ini, yakni:
1. Para
rasul adalah hamba Kristus (ay. 1)
Paulus ingin orang lain menganggap dia dan
para pemimpin lain sebagai “hamba-hamba Kristus” (ay. 1a). Kata Yunani hyperetes
untuk istilah hamba-hamba dalam ayat 1 ini lebih tepat diterjemahkan
sebagai “pelayan” atau asisten. Terjemahan “hamba” bisa memberi kesan “budak”,
padahal seorang hyperetes bukanlah seorang budak. Hyperetes adalah orang
merdeka. Kata ini pernah dipakai untuk Yohanes Markus yang membantu Paulus dan
Barnabas dalam pekerjaan misi (Kis 13:5). Di tempat lain (Rm. 1:1; Tit. 1:1)
Paulus memang menyebut dirinya sebagai budak (doulos) Allah, tetapi bukan makna
ini yang ingin dia tegaskan di 1 Korintus 4:1.
Paulus bukan hanya seorang hyperetes, tetapi
dia adalah pemimpin dari semua pelayan. Dia adalah oikonomos (ay. 1b,
LAI:TB “yang kepadanya dipercayakan”), yaitu orang yang dipercaya sepenuhnya
untuk mengelola sesuatu, baik uang, rumah maupun properti lainnya. Keputusannya
adalah keputusan pemilik. Salah satu contoh yang tidak asing bagi kita adalah
Yusuf yang diberi wewenang penuh di rumah Potifar (Kej. 39:4).
Sebagai seorang oikonomos rohani, Paulus dipercayakan
“rahasia-rahasia Allah” (ay. 1c). Dalam hal ini yang dimaksud dengan rahasia
Allah adalah injil. Injil adalah hikmat Allah yang tersembunyi sejak kekekalan
namun sekarang dinyatakan dalam Kristus Yesus (2:7).
2. Konsekuensi
sebagai hamba Kristus (ay. 2-5)
Menjadi hyperetes (pelayan) dan oikonomos
Kristus (orang kepercayaan Kristus) bukanlah tanggung-jawab yang ringan.
Beberapa konsekuensi besar sudah siap menanti kita di depan. Hal ini bisa
dipahami karena Tuan kita adalah Pribadi yang mahamulia dan yang dipercayakan
kepada kita juga adalah harta rohani yang sangat mulia. Sangat wajar kalau
tugas ini menuntut konsekuensi tertentu.
3. Harus
dapat dipercaya (ay. 2)
Sebagai orang yang dipercaya, kepercayaan
dari tuan memegang peranan sangat vital. Inilah yang disebut Paulus pertama
kali ketika dia membicarakan tentang konsekuensi para pelayan Kristus. Apa yang
dimaksud dengan “bisa dipercaya” di sini? Dalam teks asli, kata yang dipakai
adalah pistos, yang berarti “setia”.
Setia bukan sekadar merujuk pada lamanya
seseorang bekerja. Setia lebih mengarah pada ketaatan pelayan terhadap
instruksi yang diberikan oleh tuannya. Ketika Paulus menekankan nilai kesetiaan
dalam konteks tugas para pemimpin rohani, dia sebenarnya sedang menyinggung
konsep jemaat Korintus yang salah. Bagi mereka, seorang pemberita injil dinilai
dari kefasihan bicara maupun kepandaian yang mereka miliki. Bagi Paulus,
keberhasilan pemberita injil dinilai dari kesetiaannya terhadap injil itu
sendiri. Sebagian jemaat yang mencoba menggantikan injil dengan hikmat dunia
tentu saja tidak bisa disebut sebagai pelayan yang dapat dipercaya.
4. Tidak
menganggap penghakiman manusia sebagai hal yang penting (ay. 3-4a, 5a)
Larangan ini tentu saja tidak berarti bahwa
orang Kristen dilarang menilai sesuatu atau memutuskan suatu perkara. Paulus
bahkan meminta jemaat untuk menghakimi orang cabul yang ada di dalam jemaat
(5:12) atau menyelesaikan suat perkara di antara mereka (6:5). Jadi, bagaimana
kita mengharmonisasikan hal ini? Kata Yunani krino memiliki beragam
arti: menghakimi, menilai, memberi keputusan hukum, dsb, tergantung pada
konteks pemakaian. Dalam sebuah perkara rohani yang membutuhkan sebuah
keputusan, kita tentu saja diperbolehkan menilai masalah itu berdasarkan firman
Tuhan dan mengambil tindakan yang sepatutnya. Hal ini sangat berbeda dengan
sikap menghakimi orang lain dalam arti menganggap orang lain buruk/salah dengan
hati yang penuh kebencian.
5. Menyadari
bahwa tuan kita akan menghakimi kita di akhir zaman (ay. 4b, 5b)
Seorang oikonomos atau orang kepercayaan
Kristus harus memberi pertanggungjawaban apabila tuannya datang. Sang tuan,
yakni TUHAN YESUS akan menilai hasil kerja orang yang sudah dia percayai.
Begitu pula dengan para oikonomos rohani. Kita harus menghadap Tuhan kita dan
siap untuk dinilai oleh-Nya.
Ketika Kristus menghakimi nanti, Dia juga
akan memberikan upah dan hukuman. Menariknya, Paulus tidak menyinggung tentang
hukuman sama sekali. Sebaliknya, dia justru mengharapkan agar setiap orang akan
menerima puji-pujian dari Allah (ay. 5c). Dia tidak berharap agar para
pengkritiknya menerima hukuman. Walaupun jemaat membenci dia, namun Paulus
tetap berharap yang baik bagi mereka.
Jemaat Tuhan, ….
Kita kadangkala terjebak pada keinginan
untuk diterima orang lain. Kita ingin menyenangkan hati orang lain, padahal
keinginan ini tidak sesuai dengan status sebagai pelayan Kristus (Gal. 1:10).
Akibatnya, banyak orang terlalu sibuk dan sering kali terlalu memperdulikan
penilaian orang lain bukan mengerjakan apa yang penting dikerjakan. Orang cendrung
ragu bertindak hanya karena alasan “apa kata orang nantinya”. Ketika mereka
dikritik orang yang mereka layani, mereka mudah putus asa dan kecewa. Ketika
mereka mendapat pujian dari jemaat, mereka jatuh dalam kesombongan. Untuk
menghindari dua hal ini, seorang pelayan harus memandang penilaian manusia
bukan sebagai hal yang terpenting. Sebab yang menilai kita dan pelayanan kita
adalah TUHAN sendiri.
Di sisi lain, kita sering menjadi Tuan atas
orang lain. Sebagai jemaat kita mulai menghakimi para pelayan dan seakan merasa
diri paling benar. Bagi Paulus, manusia tidak berhak menilai sesamanya. Mengapa
kita tidak boleh menilai orang lain? Dan mengapa kita jangan terlalu
terpengaruh pada penilaian orang lain? Jawabnya, karena mereka tidak bisa
mengetahui kedalaman hati orang lain. Mereka sering salah menilai sesamanya,
bahkan diri mereka sendiri. Hal ini berbeda dengan penghakiman Allah, karena
Allah mampu menyelidiki hati manusia dan segala sesuatu yang tersembunyi (1Kor.
4:5b; Rm. 2:16).
Jemaat Tuhan, …
Bukankah sebagian orang (termasuk kita)
sering kali merasa diri benar padahal kenyataannya justru kita yang lebih
berdosa? Sikap Paulus yang tidak mau bersandar pada penilaian pribadinya
sendiri sangat mungkin berkaitan dengan hidupnya yang lama dahulu. Dia
menganggap diri benar dan menaati Alah dengan sempurna (Flp. 3:6), namun
kenyataannya semua itu dia lakukan tanpa pengetahuan (1Tim. 1:13). Jika manusia
tidak layak menghakimi orang lain, maka kita tidak boleh menghakimi orang lain.
Jemaat Korintus memang sudah melakukan penghakiman. Mereka menghakimi Paulus
seakan tidak benar dan kemudian menyatakan bahwa Apoloslah yang lebih baik. Paulus
meminta mereka untuk menghentikan sikap tersebut.
Saat ini kita sedang menghadapi masa
pemilihan diaken dan penatua. Masa di mana tiap pelayan periode lama akan
mengakhiri tanggung-jawab pelayanan itu. Yang perlu direnungkian adalah,
sudahkah kita mengakhiri dengan baik. Apakah kita siap mempertanggung-jawabkan
semua pelayanan kita kepada Sang Hakim agung?