MENJALANI
PERKAWINAN MELALUI TELADAN KRISTUS
Bahan Khotbah
Ibadah PKP
15 November
2018
PENGANTAR
Membangun hubungan antara
suami-istri dalam suatu ikatan perkawinan terkesan mudah namun sulit untuk
menjalaninya. Siapapun saudara yang sudah menikah pasti mengerti apakah maksud
dari pernyataan di atas. Menyatukan berbagai perbedaan antara suami-istri dalam
satu wadah yakni lembaga perkawinan sehingga tetap langgeng hingga maut
memisahkan adalah tantangan yang sulit untuk dihadapi. Diperlukan kesabaran,
kesungguhan cinta kasih, dan pengertian untuk mampu menjadi pasangan yang baik
antar keduanya. Pepatah: “asam di gunung; garam di laut menyatu dalam belanga”
sering dijadikan analogi bagaimana hubungan suami istri itu menyatu dalam
kepelbagaian budaya dan karakter masing-masing. Namun, sekali lagi, semuanya
tidak semudah asam dan garam bercampur dalam belanga. Bukan saja butuh
pengorbanan dan usaha keras untuk menjalaninya, tetapi juga perlu memahami
dengan bijak bagaimana seharusnya relasi atau hubungan suami-istri itu
dibangun.
Paulus dalam suratnya kepada
jemaat di Efesus menguraikan dengan rinci bagaimana seharusnya posisi dan
relasi antara suami-istri itu dipahami. Menurut Rasul Paulus, suami-istri
ketika membangun hubungan satu dengan yang lain dan memposisikan diri dan
pasangan masing-masing harus bercermin pada hubungan Kristus dan jemaat (bd.
ay.32). Bagaimanakah memahami hubungan suami-istri yang bercermin pada hubungan
Kristus dan jemaatNya? Walaupun menurut SBU, ayat yang dibahas ahanya pada
31-33, maka ada baiknya keseluruh ayat yakni 22-33 menjadi fokus bacaan kita
saat ini. Mari perhatikan detail uraian Paulus di bawah ini.
PEMAHAMAN TEKS
Pada pasal 5:22-33 Paulus menguraikan tentang
bagaimana seharusnya sikap seorang suami dan istri terhadap pasangannya
masing-masing. Relasi yang dibangun antara suami-istri, menurut Paulus haruslah
mendasarkan pada hubungan Kristus dan jemaat sebagaimana diuraikan di atas. Ada
beberapa pokok penting yang perlu dijelaskan terhadap uraian Paulus dalam ayat
22-30 bacaan kita ini, yakni:
1.
Perhatikanlah bunyi ayat 22 pasal 5 dalam surat Efesus
ini. Paulus menulis: “Hai isteri,
tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan”. Apabila membaca
pernyataan Paulus ini dengan cara melepas konteksnya, maka sudah pasti
pernyataan ini lebih sering memunculkan sentimen gender. Dengan redaksi ini
para suami yang tidak bertanggung jawab sudah pasti menggunakan ayat ini untuk
menuntut ketundukan yang absolut dari istrinya.
Ayat 22 ini harus dibaca dalam terang pemahaman ayat
21. sebab ayat pada ayat 22 istilah tunduklah dalam teks asli tidak ditemukan,
tetapi diambil pada ayat sebelumnya yakni pada ayat 21. Maka dalam poemahaman
ayat 21, kita mengherti ayat 22 dengan pengertian yang jelas, yakni: Setiap
orang yang telah diselamatkan dan menjadi kesatuan dengan Kristus haruslah
saling merendahkan diri satu dengan yang lain sebagai wujud takut akan Kristus
atau ketaatan kepada Kristus (ay.21). Hal inipun berlaku bagi seorang Istri
kepada suaminya (ay.22).
Kesediaannya untuk tunduk atau merendahkan dirinya
kepada suami ditunjukkan sebagai wujud ketaatan kepada Kristus. Ketaatan kepada
Kristus adalah alasan yang utama seorang Istri bersikap hormat dan tunduk
kepada suami. Itulah pemahaman yang tepat dari ayat 22 dalam kesatuan makna
dengan ayat 21 tadi, sehingga sentimen gender dapat dihindari.
Pengertian ayat 22 di atas sekaligus memaknai secara
benar arti dari kalimat “seperti kepada Tuhan”. Hal ini tidak dimaksudkan bahwa
seorang istri dituntut untuk tunduk kepada suami karena suami adalah Tuhan.
Tidak juga kemudian memberi kesan bahwa suami adalah tuhan kecil dalam rumah
tangga. Namun seorang istri tunduk dan menghormati suaminya dalam kesadaran
bebas tanpa paksaan sebagai ekspresi iman yang sangat mengasihi Kristus dan
taat pada kehendakNya.
Pemaknaan ini sekaligus memberikan pengertian pada kewajiban
istri dalam ayat 24 yang harus tunduk kepada suami dalam segala sesuatu.
Kalimat segala sesuatu bukan berarti membenarkan segala hal yang dilakukan
suami yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Segala sesuatu tidak pernah
dimaksud bahwa istripun harus patuh pada tuntunan dan arahan suami yang tidak
benar dan membawanya pada kehidupan dosa. Jika kondisi ini terjadi, maka istri
harus tetap berpegang pada “di dalam takut akan Kristus”. Artinya,
hormat dan tunduknya seorang Istri ada dalam ketaatannya pada Kristus. Sehingga
istri akan memilih taat pada kehendak Kristus dari pada melakukan dosa karena
mengikuti kehendak suami.
2.
Bagaimana dengan kewajiban suami? Paulus menyatakan dalam
ayat 25 sbb: “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi
jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya...” Kesan yang ditangkap dari ungkapan ayat 25 ini
jika dihubungkan dengan tugas suami dan istri adalah “tidak seimbang”. Seakan
tugas istri sangat berat yakni harus tunduk kepada suami, sedangkan tugas suami
cendrung ringan yakni “hanya” mengasihi istri.
Benarkah demikian? Perhatikanlah lebih seksama kalimat pada ayat 25 ini.
Suami diperintahkan untuk mengasihi istri. Istilah mengasihi ini dalam bah.
Yunani adalah ἀγαπάω (baca: agapao) dari kata dasar agape (kasih). Istilah ini memiliki makna yang cukup dalam, bukan
sekedar mengasihi atau mencintai. Istilah agape atau agapao itu sendiri
penggunaannya dalam Perjanjian Baru bukan langsung berasal dari Yunani klasik
tapi lebih cenderung dari LXX / Septuaginta (terjemahan PL dalam bah.Yunani),
yakni אָהַב
(‘ah’ev = Kasih) yang menggambarkan keagungan dan ketulusan kasih Allah kepada
manusia (bd. Hos.11:1-4). Itulah sebabnya Paulus menyebut bahwa bentuk nyata
Kasih Kristus kepada jemaatNya adalah lewat menyerahkan (παραδίδωμι = paradidomi = memberi) diriNya (ay.25) sebagai
wujud keagungan dan ketulusan Kasih Allah. Jadi puncak tertingi dari Kasih
Allah bagi umatNya adalah lewat pemberian diriNya bagi dunia. Menyerahkan DiriNya
adalah adalah bentuk kongkrit dari kasih Allah.
Apabila seorang suami diperintahkan untuk mengasihi istrinya, itu bukanlah
perintah yang “ringan” dan kurang sepadan dengan perintah kepada istri yang
harus tunduk (hupotasso: merendahkan diri;
menempatkan diri di bawah) pada suaminya. Sebab kualitas mengasihi dari seorang
suami kepada istrinya harus bercermin pada Kasih Kristus untuk jemaatNya. Oleh
karena bentuk nyata kasih Kristus kepada jemaatNya lewat menyerahkan (paradidomi = memberi) diriNya (ay.25) maka suami yang mengasihi istri
berarti pribadi yang bersedia menyerahkan dirinya pada istrinya. Seorang yang
menyerahkan diriya kepada orang lain adalah pribadi yang bersedia juga untuk
merendahkan diri pada orang lain itu (termasuk kepada istrinya).
Klimaks dari hubungan suami istri
itu berpuncak pada pemahaman bahwa mereka bukan lagi dua melainkan satu. Istri
tunduk kepada suami karena Kristus; demikian juga suami mengasihi istri karena
Kristus, dengan demikian peran dan fungsi mereka disatukan dalam Kristus pada
ikatan Kasih Kristus yang agung yang telah mengasihi jemaatnya termasuk suami
dan istri itu. Inilah yang dimaksud dalam ayat 28-30, terutama ayat 31-33
bacaan kita. Suami Istri disatukan dalam Kasih Kristus. Kesatuan itu
digambarkan bagaikan kesatuan tubuh dimana Kristus adalah kepalanya dan jemaat
adalah tubuhNya (ay.32). Maka yang utama dari seluruh relasi dalam perkawinan
adalah meneladani Kristus Yesus yang bersedia dengan totalitas mengasihi dunia
dan berkorban bagi dunia. Demikianlah suami istri mencontohi hidup dan teladan
dari Kristus (ay.33)
RELEVANSI -
APLIKASI
Suatu kenyataan yang tidak dapat
dipungkiri adalah hadirnya berbagai perselisihan atau percekcokan dalam hidup
rumah tangga. Penyebab paling utama dan umum adalah karena berbagai perbedaan yang
lebih ditonjolkan dan bukan kesatuan sebagai jatidri baru suami istri. Para
suami istri kadang menjadi lupa bahwa mereka bukan lagi dua melainkan satu.
Karena itu tidaklah heran jika dalam keluargapun terjadi kompetisi atau
bersaingan untuk mengejar pengakuan soal keunggulan dan kelebihan
masing-masing. Tanpa sadar suami istri menjadikan rumah tangga sebagai
gelanggan pertandingan untuk menentukan siapa yang kalah atau menang. Kekalahan
dianggap suatu kegagalan dan sebaliknya kemenangan adalah suatu keberhasilan
diri.
No comments:
Post a Comment