EFESUS 5:22-30
(dikutip dari buku Sabda Guna Dharma edisi 28 --- Juli s/d Agustus 2013)
PENGANTAR
Membangun
hubungan antara suami-istri dalam suatu ikatan perkawinan terkesan mudah namun
sulit untuk menjalaninya. Siapapun saudara yang sudah menikah pasti mengerti
apakah maksud dari pernyataan di atas. Menyatukan berbagai perbedaan antara suami-istri
dalam satu wadah yakni lembaga perkawinan sehingga tetap langgeng hingga maut
memisahkan adalah tantangan yang sulit untuk dihadapi. Diperlukan kesabaran,
kesungguhan cinta kasih, dan pengertian untuk mampu menjadi pasangan yang baik
antar keduanya. Pepatah: “asam di gunung; garam di laut menyatu dalam belanga”
sering dijadikan analogi bagaimana hubungan suami istri itu menyatu dalam
kepelbagaian budaya dan karakter masing-masing. Namun, sekali lagi, semuanya
tidak semudah asam dan garam bercampur dalam belanga. Bukan saja butuh
pengorbanan dan usaha keras untuk menjalaninya, tetapi juga perlu memahami
dengan bijak bagaimana seharusnya relasi atau hubungan suami-istri itu
dibangun.
Paulus dalam
suratnya kepada jemaat di Efesus menguraikan dengan rinci bagaimana seharusnya
posisi dan relasi antara suami-istri itu dipahami. Menurut Rasul Paulus,
suami-istri ketika membangun hubungan satu dengan yang lain dan memposisikan
diri dan pasangan masing-masing harus bercermin pada hubungan Kristus dan jemaat
(bd. ay.32). Bagaimanakah memahami hubungan suami-istri yang bercermin pada
hubungan Kristus dan jemaatNya? Mari perhatikan detail uraian Paulus di bawah
ini.
PEMAHAMAN TEKS
I.
Latar belakang dan isi surat Efesus
Surat kepada
jemaat di Efesus ini ditulis oleh Rasul Paulus ketika ia sedang berada dalam
penjara di Roma sekitar tahun 60-61 M. Surat ini dikirim Paulus ke Efesus
melalui seorang yang bernama Tikhikus (6:21,22) yang juga adalah orang yang
sama menyampaikan surat kepada jemaat Kolose. Hal ini terlihat dengan jelas
pada kesamaan atau kemiripan redaksional penutup kedua surat ini yakni pada
Kol.4:7 dan Ef.6:21-22.
Pada saat itu
Efesus dan masyarakatnya dari sisi keagamaan masih sangat dipengaruhi pada
penyembahan terhadap dewi Artemis. Penyembahan terhadap dewi ini menjadi hal
pokok dan utama -bukan saja karena ia dianggap sebagai demi kesuburan dan
kemakmuran-, namun juga karena di beberapa tempat pada budaya Yunani Kuno, dewi
Artemis dipandang sebagai Soteira (penyelamat) dan Agrotera
(pemburu) dan merupakan dewi pemimpin para penjaga dari segala hal yang ada di
alam liar seperti pohon dan sungai. Bagi Efesus, dewi Artemis sangat dipuja
karena ia dianggap menjamin keselamatan dan kehidupan mereka.
Itulah sebabnya
isi surat Efesus yang dituliskan Paulus ini berintikan ajaran tentang bagaimana
memperoleh keselamatan sejati dalam diri orang percaya melalui Yesus Kristus.
Hal ini dengan sengaja dutulis untuk mematahkan pemahaman keselamatan yang
muncul diberbagai budaya dan bangsa, termasuk Efesus.
Menurut Paulus,
sumber keselamatan dunia ini terletak pada kasih karunia Allah melalui Yesus
Kristus (1:3-8) yang kelak nanti akan menyatukan Seluruh alam, baik yang di surga maupun yang di bumi, menjadi
satu dengan Kristus sebagai “Kepala"
(1:10). Di dalam bagian pertama surat Efesus ini (pasal 1-3) dikemukakan
bagaimana penyatuan itu terjadi. Untuk menjelaskan hal itu ia menceritakan
bagaimana Allah Bapa telah memilih umat-Nya; bagaimana Allah melalui Yesus
Kristus, Anak-Nya, mengampuni dan membebaskan umat-Nya dari dosa; dan bagaimana
janji Allah itu dijamin oleh Roh Allah.
Selanjutnya, Di dalam bagian kedua
(pasal 4-6), Paulus menyerukan kepada para
pembacanya supaya mereka hidup rukun agar kesatuan mereka sebagai umat yang percaya kepada Kristus dapat
terlaksana. Paulus menekankan soal bagaimana seharusnya hidup satu di tengah
keragaman termasuk perbedaan karunia (4:1-16); menjaga pembaharuan diri agar
tidak tercemar oleh berbagai kedurhakaan orang-orang yang tidak percaya
(4:17-25); mengekang diri agar terhindar dari segala percekcokan yang membawa
skisma atau perpecahan dalam Tubuh Kristus (4:26-32).
Dalam membangun
relasi dengan orang lainpun, yang seiman maupun yang tidak percaya, Paulus
menegaskan tentang pola dan sikap yang benar sesuai teladan yang diberikan
Kristus. Umat diajar untuk memahami hubungan dengan orang lain termasuk
hubungan antara suami-istri (5:22-33), hubungan orangtua dan anak (6:1-5),
hubungan antar pekerja dan majikan (6:6-9); harus bercermin pada sikap dan
teladan yang diberikan oleh Yesus ketika membangun hubungan dengan jemaatNya.
Hubungan Kristus dan jemaatNya harus menjadi pola hubungan antar pribadi dengan
jemaat.
Paulus
menyadari bahwa tidaklah mudah bagi jemaat menjalani hidup sesui dengan
kehendak Kristus Yesus yang telah memberi teladan bagi umatNya. Akan ada banyak
tantangan dan godaan yang muncul untuk menghalangi umat menjalani hidup yang
berkenan kepadaNya. Itulah sebabnya Paulus dalam bagian akhir suratnya
(6:10-20) menyebut upaya umat menghadapi tantangan itu sebagai suatu peperangan
rohani, sehingga perlu mem-perlengkapi diri dengan berbagai senjata
perlengkapan Allah untuk mengalahkan Iblis.
II.
Pokok Ajaran Efesus 5:22-30
Pada pasal 5:22-30 Paulus
menguraikan tentang bagaimana seharusnya sikap seorang suami dan istri terhadap
pasangannya masing-masing. Relasi yang dibangun antara suami-istri, menurut
Paulus haruslah mendasarkan pada hubungan Kristus dan jemaat sebagaimana
diuraikan di atas. Ada beberapa pokok penting yang perlu dijelaskan terhadap
uraian Paulus dalam ayat 22-30 bacaan kita ini, yakni:
1.
Perhatikanlah bunyi ayat 22 pasal 5
dalam surat Efesus ini. Paulus menulis: “Hai
isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan”. Apabila membaca
pernyataan Paulus ini dengan cara melepas konteksnya, maka sudah pasti
pernyataan ini lebih sering memunculkan sentimen gender. Dengan redaksi ini
para suami yang tidak bertanggung jawab sudah pasti menggunakan ayat ini untuk
menuntut ketundukan yang absolut dari istrinya.
Untuk itu kita
perlu memahami ayat ini pada konteks yang tepat dalam hal kedudukan ayat ini
pada keseluruh tulisan surat Paulus di Efesus. Di dalam teks Yunaninya, ayat
ini sangat berbeda dengan terjemahan Indonesianya. Aslinya tertulis sebagai
berikut: αἱ γυναῖκες τοῖς ἰδίοις ἀνδράσιν ὡς τῷ κυρίῳ, (baca: ai
gunaikes tois idiois andrasin os to kurio) yang dapat
diterjemahkan dengan bebas menjadi: "Hai, istri, kepada suamimu seperti
kepada Tuhan." Dengan kata lain istilah “tunduklah” tidak terdapat
dalam teks aslinya pada ayat 22. jika Kalimatnya seperti ini, maka dalam tata
bahasa Indonesia kalimat tersebut tidaklah sempurna dan tanpa makna sedikitpun
karena tidak memiliki satupun kata kerja (dalam hal ini: “tunduklah”).
Jika demikian,
darimanakah istilah “tunduklah” diterjemahkan oleh lembaga Alkitab Indonesia?
Pernyataan ayat 22 ini memiliki hubungan yang erat dengan ayat 15-21 pasal 5
surat Efesus. Paulus menyatakan bahwa dalam rangka mewujudkan kehidupan yang
telah diselamatkan oleh Yesus Kristus, umat Tuhan harus hidup dengan bijaksana
(ay.15) dengan cara mengerti kehendak Tuhan. Mereka yang hidup bijaksana
sebagai anak-anak terang, yang telah diselamatkan, terlihat dari sikap hidup
sehari-hari yakni:
·
Jangan mabuk anggur (ay.18);
·
Bermazmur dan bernyanyilah untuk
memuliakan Tuhan (ay.19);
·
Ucaplah syukur senantiasa dalam segala
sesuatu (ay.20) serta;
·
Rendahkanlah diri seorang kepada yang
lain di dalam takut akan Kristus (ay.21)
Pada
bagian terakhir inilah yaitu pada kalimat: “rendahkanlah dirimu seorang kepada yang
lain di dalam takut akan Kristus” (ay.21), pernyataan ayat 22 menjadi
jelas. Istilah ὑποτασσόμενοι (baca: hupotassomenoi) yang diterjemahkan LAI
dengan istilah “Rendahkanlah diri” ini berasal dari istilah Yunani ὑποτάσσω (baca: hupotasso) yang berarti tunduklah,
rendahkanlah diri, dan atau menempatkan diri di bawah. Istilah ini bermakna
kesediaan untuk menempatkan diri di bawah dari orang lain dengan penuh
kerelaan.
Dari uraian di atas dapatlah
kita mengerti bahwa istilah “tunduklah” yang diterjemahkan LAI pada ayat 22
jelas tidak ada dalam kalimat, namun mendapatkan kata kerja itu dalam
hubungannya dengan ayat 21. Dengan demikian untuk memahami ayat 22 secara benar
kita harus memaknainya dalam kaitan dengan ayat 21.
Setiap orang yang telah diselamatkan
dan menjadi kesatuan dengan Kristus haruslah saling merendahkan diri satu
dengan yang lain sebagai wujud takut akan Kristus atau ketaatan kepada Kristus
(ay.21). Hal inipun berlaku bagi seorang Istri kepada suaminya (ay.22).
Kesediaannya untuk tunduk atau merendahkan dirinya kepada suami bukan karena
takut kepada suami, bukan pula karena suami kuat dan dia lemah, bukan juga
karena tuntutan norma masyarakat dan budaya; namun sikap rela merendahkan diri
kepada suami ditunjukkan sebagai wujud ketaatan kepada Kristus. Ketaatan kepada
Kristus adalah alasan yang utama seorang Istri bersikap hormat dan tunduk
kepada suami. Itulah pemahaman yang tepat dari ayat 22 dalam kesatuan makna
dengan ayat 21 tadi, sehingga sentimen gender dapat dihindari.
Pengertian ayat 22 di atas
sekaligus memaknai secara benar arti dari kalimat “seperti kepada Tuhan”. Hal
ini tidak dimaksudkan bahwa seorang istri dituntut untuk tunduk kepada suami
karena suami adalah Tuhan. Tidak juga kemudian memberi kesan bahwa suami adalah
“tuhan kecil” dalam rumah tangga. Namun seorang istri tunduk dan menghormati
suaminya dalam kesadaran bebas tanpa paksaan sebagai ekspresi iman yang sangat
mengasihi Kristus dan taat pada kehendakNya.
Pemaknaan ini sekaligus
memberikan pengertian pada kewajiban istri dalam ayat 24 yang harus tunduk
kepada suami dalam segala sesuatu. Kalimat segala sesuatu bukan berarti
membenarkan segala hal yang dilakukan suami yang bertentangan dengan kehendak
Tuhan. Segala sesuatu tidak pernah dimaksud bahwa istripun harus patuh pada
tuntunan dan arahan suami yang tidak benar dan membawanya pada kehidupan dosa.
Jika kondisi ini terjadi, maka istri harus tetap berpegang pada “di
dalam takut akan Kristus”. Artinya, hormat dan tunduknya seorang Istri
ada dalam ketaatannya pada Kristus. Sehingga istri akan memilih taat pada
kehendak Kristus dari pada melakukan dosa karena mengikuti kehendak suami.
2.
Bagaimana dengan kewajiban suami?
Paulus menyatakan dalam ayat 25 sbb: “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana
Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya...” Kesan yang ditangkap dari ungkapan ayat 25 ini
jika dihubungkan dengan tugas suami dan istri adalah “tidak seimbang”. Seakan
tugas istri sangat berat yakni harus tunduk kepada suami, sedangkan tugas suami
cendrung ringan yakni “hanya” mengasihi istri.
Benarkah demikian? Perhatikanlah lebih seksama
kalimat pada ayat 25 ini. Suami diperintahkan untuk mengasihi istri. Istilah
mengasihi ini dalam bah. Yunani adalah ἀγαπάω (baca:
agapao) dari kata dasar agape (kasih). Istilah ini memiliki
makna yang cukup dalam, bukan sekedar mengasihi atau mencintai. Istilah agape
atau agapao itu sendiri penggunaannya dalam Perjanjian Baru bukan langsung
berasal dari Yunani klasik tapi lebih cenderung dari LXX / Septuaginta
(terjemahan PL dalam bah.Yunani), yakni אָהַב
(‘ah’ev = Kasih) yang menggambarkan keagungan dan ketulusan kasih Allah kepada
manusia (bd. Hos.11:1-4). Itulah sebabnya Paulus menyebut bahwa bentuk nyata
Kasih Kristus kepada jemaatNya adalah lewat menyerahkan (παραδίδωμι = paradidomi = memberi) diriNya
-ay.25) sebagai wujud keagungan dan ketulusan Kasih Allah. Jadi puncak tertingi
dari Kasih Allah bagi umatNya adalah lewat pemberian diriNya bagi dunia.
Menyerahkan DiriNya adalah adalah bentuk kongkrit dari kasih Allah.
Apabila seorang suami diperintahkan untuk mengasihi
istrinya, itu bukanlah perintah yang “ringan” dan atau kurang sepadan dengan
perintah kepada istri yang harus tunduk (hupotasso:
merendahkan diri; menempatkan diri di bawah) pada suaminya. Sebab kualitas
mengasihi dari seorang suami kepada istrinya harus bercermin pada Kasih Kristus
untuk jemaatNya. Oleh karena bentuk nyata kasih Kristus kepada jemaatNya lewat
menyerahkan (paradidomi = memberi) diriNya (ay.25)
maka suami yang mengasihi istri berarti pribadi yang bersedia menyerahkan
dirinya pada istrinya. Seorang yang menyerahkan diriya kepada orang lain adalah
pribadi yang bersedia juga untuk merendahkan diri pada orang lain itu.
Sama seperti Kristus mengasihi jemaatNya dilakukan
lewat merendahkan diriNya menjadi seorang hamba sebagai wujud pemberian diri
Allah bagi keselamatan dunia, maka demikian juga dengan seorang suami. Jika
suami mengasihi istrinya, berarti ada kesediaan untuk menyerahkan dirinya kepada
istrinya termasuk kesediaan untuk merendahkan diri (hupotasso: tunduk). Jadi dibalik perintah mengasihi mengandung
makna merendahkan diri juga sebagai wujud pemberian diri seorang suami kepada
istrinya. Bukankah itu perkara yang tidak mudah?
Hal yang sama pun berlaku kepada seorang istri.
Jika ia diperintahkan untuk merendahkan diri atau tunduk (hupotasso) kepada suami, mengandung arti bahwa ia pun harus
memberi dirinya kepada sang suami. Karena memberi diri adalah wujud dari
mengasihi, maka istri yang merendahkan dirinya adalah istri yang mengasihi
suaminya. Dengan demikian kedua perintah yang berbeda untuk suami istri ini,
mengandung makna yang sama yakni mengasihi untuk memberi diri kepada
masing-masing pasangannya yang terwujud lewat saling merendahkan diri. Bukankah
hal ini sangat indah jika direnungkan?
3.
Klimaks dari hubungan suami istri itu
berpuncak pada pemahaman bahwa mereka bukan lagi dua melainkan satu. Istri
tunduk kepada suami karena Kristus; demikian juga suami mengasihi istri karena
Kristus, dengan demikian peran dan fungsi mereka disatukan dalam Kristus pada
ikatan Kasih Kristus yang agung yang telah mengasihi jemaatnya termasuk suami
dan istri itu. Inilah yang dimaksud dalam ayat 28-30 bacaan kita. Suami Istri
disatukan dalam Kasih Kristus. Kesatuan itu digambarkan bagaikan kesatuan tubuh
dimana Kristus adalah kepalanya. Karena mereka yang berbeda ini telah menjadi
satu (tubuh) maka adalah tidak tepat jika suami membenci atau menyakiti
istrinya yang adalah tubuhnya sendiri.
Paulus menekankan
bagian ini untuk menunjukkan bahwa di hadapan Tuhan, suami-Istri bukan hanya
dipandang sama fungsi dan tanggung-jawabnya namun juga lebih dari itu suami
istri dilihat sebagai suatu kesatuan yang utuh. Bahwa benar keduanya berbeda,
namun mereka adalah satu dalam perbedaan itu. Menyakiti tangan sama dengan
membuat seluruh tubuh merasakan sakit, demikian juga menyakiti suami atau istri
membuat suami-istri merasakan ketidaknyaman itu.
Rasul Petrus
menegaskan: “hai suami-suami, hiduplah bijaksana
dengan isterimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman
pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang.”
(1Ptr.3:7). Hal ini menguatkan apa yang disampaikan Paulus. Suami yang
menyakiti istri adalah suami yang kehilangan fungsi doa sebagai imam untuk
mendoakan keluarga yang adalah jemaatnya.
RELEVANSI - APLIKASI
Seorang
laki-laki dan perempuan adalah dua pribadi yang berbeda. Mereka kemudian
menjadi satu dalam perkawinan sebagai suami-istri. Tidak mudah untuk tetap
menjadi satu di berbagai perbedaan yang selalu ada. Suatu kenyataan yang tidak
dapat dipungkiri adalah hadirnya berbagai perselisihan atau percekcokan dalam
hidup rumah tangga. Penyebab paling utama dan umum adalah karena berbagai
perbedaan itu yang lebih ditonjolkan dan bukan kesatuan sebagai jatidri baru
suami istri.
Para suami
istri kadang menjadi lupa bahwa mereka bukan lagi dua melainkan satu. Karena
itu tidaklah heran jika dalam keluargapun terjadi kompetisi atau bersaingan
untuk mengejar pengakuan soal keunggulan dan kelebihan masing-masing. Tanpa
sadar suami istri menjadikan rumah tangga sebagai gelanggan pertandingan untuk
menentukan siapa yang kalah atau menang. Kekalahan dianggap suatu kegagalan dan
sebaliknya kemenangan adalah suatu keberhasilan diri.
Lewat bacaan
ini Paulus mengingatkan bahwa suami istri bukan lagi dua pribadi. Mereka memang
berbeda tetapi telah menjadi satu. Kesatuan mereka terletak pada ketaatan di
dalam takut akan Tuhan. Karena itu rumah tangga bukanlah tempat persaingan
memperjuangan kepentingan sendiri melainkan suatu wadah perjuangan bersama
untuk kemenangan bersama. Hal ini hanya dapat dilakukan, menurut Paulus,
apabila keduanya saling merendahkan diri di dalam kasih yang tulus seperti
Kasih Kristus bagi umatNya. Dengan demikian berbagai perbedaan akan melebur
dalam keutuhan cinta kasih Allah yang telah mereka peroleh dari Tuhan dan
selanjutnya membagikan kepada pasangan masing-masing.
Karena itu
marilah saling mengasihi. Bersedialah untuk memberi diri bagi pasangan
masing-masing demi kebahagiaan bersama dan bukan kesenangan diri. Sebab suami
istri adalah satu dalam kasih Tuhan. Rendahkanlah diri seorang kepada lain di
dalam takut akan Tuhan supaya istri dapat dengan tulus dan dalam kerelaan
menghormati suaminya dan selanjutnya suamipun dapat dengan kesungguhan
mengasihi istrinya. Perbedaan akan selalu ada, namun betapa indahnya jika
perbedaan itu dapat disatukan dalam kasih Kristus. Selamat menjadi satu dalam
kasih Kristus di tengah perbedaan masing-masing. Amin.
No comments:
Post a Comment