Untuk dapat memahami peristiwa dalam pasal 17:23-27, maka kita perlu menelusuri jejak awal peristiwa tersebut yang dimulai pada pasal 15 Kitab Kejadian tentang janji awal memperoleh keturunan. Janji ini diberikan TUHAN kepada Abraham pada saat ia berusia sudah tidak muda lagi. Untuk lebih jelasnya mari kita melihat beberapa poin di bawah ini yang berasal dari pasal sebelumnya sampai pasal bacaan kita hari ini :
1. Perhatikan pasal 15:1-3
Abraham sedang mengalami ketakutan, sehingga Tuhan menyapanya dengan ungkapan “janganlah takut” (15:1). Apakah sebenarnya yang ditakutkan Abraham? Bukankan kondisi itu sedang tidak ada perang? Bukankah juga Abraham adalah seorang lelaki kaya dan tidak mengalami kekurangan apapun?
Ternyata ketakutan Abraham bukan soal perang atau kekurangan sesuatu, melainkan hal yang sedang ditakutkannya adalah masalah keturunan dan ahli waris keluarganya. Dalam 15:3 dengan jelas Abraham mengeluh dan berkata kepada TUHAN, Allahnya: “Engkau tidak memberikan kepadaku keturunan sehingga seorang hambaku nanti menjadi ahli warisku”.
Rupanya, TUHAN tidak menyetujui rencana ini. Dalam 15:4 kita menemukan bahwa ahli waris dari Abraham haruslah anak kandungnya sendiri. Ini merupakan janji TUHAN kepadanya, sekaligus perintah untuk melakukannya.
2. Perhatikan pasal 16:1-16.
Bagaimanapun Abraham adalah manusia biasa yang walaupun sangat beriman, ternyata melakukan kekeliruan juga. Atas desakan istrinya sediri (Sarai) yang mengerti kegundahan suaminya, maka Sarai memberikan Hagar, pembantunya, untuk menjadi gundik Abraham dan melahirkan seorang anak lelaki yang diberi nama Ismail. Sarai melakukan itu sebab ia sendiri mandul dan tidak bisa memperoleh anak.
Dengan lahirnya Ismail, maka Abraham berpikir bahwa masalahnya telah terpecahkan, sebab ia sekarang memiliki anak kandung sebagai ahli waris yakni Ismail.
3. Perhatikan bacaan kita pasal 17:15-19
Ternyata masalah yang dianggap selesai dan rencana matang yang disiapkan oleh Abraham dan istrinya tidak disetujui oleh Tuhan. Rupanya, TUHAN merencanakan hal lain dalam kehidupan Abraham dan Istrinya. Menurut TUHAN, Ismail tidak akan menjadi ahli waris Abraham; dan sebagai gantinya TUHAN akan menghadirkan seorang anak dari kandungan istrinya yang Sah yakni Sarai atau Sara.
Apakah reaksi Abraham? Tentunya ini merupakan berita baik namun sekaligus menggelikan untuk didengar apalagi dipercaya. Hal ini terlihat jelas dalam ayat 17 bacaan kita ketika Abraham tertawa mendengar pernyataan itu dan bertanya dalam hantinya tentang “kemungkinan yang tidak mungkin” itu.
Mengapa Abraham merasa bahwa rencana TUHAN itu sungguh menggelikan sehingga ia tertawa tanda tidak yakin? Sebab saat itu Abraham telah berumur 99 tahun dan Sara 89 tahun. Maka adalah mustahil baginya untuk beroleh anak pada usia 100 tahun dan istrinya berumur 90 tahun. Keraguan Abraham sangatlah relevan dan logis untuk dipikirkan sebab usia 90 tahun bagi seorang perempuan adalah usia tidak produktif dan mustahil memperoleh keturunan.
4. Perhatikan Pasal 17:20-22
Abraham pasti kecewa, sebab secara psikologi “persoalan yang satu ini”, yakni masalah keturunan dan ahli waris, menurutnya sudah selesai namun justru “dimentahkan” lagi oleh Allah.
TUHAN, Allah Abraham sangat mengerti keinginan hambanya itu dan mengetahui betapa Abraham sangat mengasihi Ismail. Itulah sebabnya, anak yang bukan ahli waris tersebut tetap diperhatikan oleh Allah. TUHAN, Allah telah menyiapkan berkat dan perjanjian khusus bagi Ismail dan keturunannya. Bagaimanapun juga, walau Ismail tidak dikehendaki Allah, namun Ismail tetap mendapat kasih Karunia-Nya karena permintaan Abraham.
Perhatikan bahwa Allah tidak berencana untuk memberkati Ismail. Namun kita menemukan alasan mengapa Ismail juga turut mendapat berkat dari TUHAN, Allah. Hal ini jelas nampak dalam ayat 20 pasal 17 kitab Kejadian yang menyatakan bahwa TUHAN, Allah memberkati Ismail oleh karena permintaan Abraham. Permohonan seorang ayah yang takut TUHAN ini, didengar oleh TUHAN, Allahnya.
5. Perhatikan bacaan kita Kejadian 17:23-27 bacaan kita hari ini.
Apakah reaksi Abraham setelah TUHAN, Allahnya pergi? Sebelum menjawabnya, mari kita ganti pertanyaan ini sbb: apa reaksi saudara ketika orang memberi intruksi tertentu namun tdk sesuai kehendak kita? Apa yang kita lakukan ketika dia pergi? Saya yakin, minimal kita “ngomel” atau ogah-ogahan melaksanakan perintah atau permintaaan orang tersebut karena sebenarnya hal itu sangat jauh dari yang kita harapkan.
Apa yang dilakukan Abraham? Abraham tidak bersungut, walau mungkin ia kecewa. Abraham tidak melaksanakan PERINTAH TUHAN dengan sambil lalu dan asal-asalan karena tidak sesuai keinginannya. Namun dari ayat 23-27 kita menemukan bahwa kualitas melakukan perintah TUHAN dikerjakan Abraham dengan penuh kesungguhan.
Abraham bukan saja hanya mendengar perintah TUHAN namun melakukannya dengan segera. Ia mengumpulkan semua orang laki-laki termasuk Ismail dan para hambanya untuk kemudian disunat sebagai tanda perjanjian dan sekaligus tanda ketaatan Abraham melaksanakan janji TUHAN itu.
Dari uraian Firman Tuhan ini, ada beberapa hal penting yang kiranya dapat kita pelajari dan renungkan dalam hidup kita sebagai keluarga, istimewa sebagai suami atau istri dalam rumah tangga. Beberapa hal penting itu adalah sebagai berikut:
1. Tidak semua yang kita inginkan dapat kita peroleh. Banyak orang berusaha untuk mencapai semua yang diinginkan, ketika gagal, maka kecewa dan kehilangan harapan. Hari ini kita diajar oleh kisah Abraham ini, bahwa bagaimanapun tidak semua hal sesuai dengan mau dan ingin kita. Kita perlu berbesar hati bahwa rencana besar dan baik milik kita, tidak selalu sejalan dengan rencana TUHAN, Allah kita. Ia memiliki rencana yang lebih baik dan lebih besar untuk hidup dan keberadaan kita. Menunduk setuju dan menjalani rencana yang TUHAN petakan dalam hidup kita adalah pilihan yang bijak dan berkhikmat.
2. Mendengar dan melakukan perintah TUHAN adalah panggilan utama kita, seperti apa yang dilakukan Abraham. Kadangkala kita merasa TUHAN mengabaikan kita; Ia “semena-mena” dan tidak memperhitungkan perasaan kita. Namun bukankah TUHAN adalah pemilik hidup kita? Ia berhak melakukan apapun dalam hidup kita bersama keluarga.
Abraham tidak mempersoalkan hal itu. Dia mungkin kecewa karena idenya tentang Ismail ditolak Allah. Namun kondisi dan kenyataan itu tidak menjadi alasan cukup kuat bagi Abraham untuk tidak dengan setia melakukan perintah TUHAN. Baginya kepatuhan kepada TUHAN adalah tindakan totalitas imannya. Tunduk dan patuhnya adalah tindakan tanpa syarat kepada Allah. Abraham tetap setia dan mengerjakan dengan detail semua perintah TUHAN, Allahnya itu. Kitapun harusnya demikian. Jangan ada satu alasan-pun yang membuat kita tidak patuh dan setia, termasuk alasan “kecewa kepada TUHAN” sekalipun.
Kiranya kita dimampukan untuk mencotohi Abraham. Jadilah pribadi yang tetap menyenangkan TUHAN, Allah kita disaat senang maupun susah. Sebab Ia setia memberkati dan meyertai kita dalam kondisi apapun hidup kita. Amin.
No comments:
Post a Comment