PENGKHOTBAH 9:11-12
11Lagi aku melihat di bawah matahari bahwa kemenangan perlombaan bukan untuk yang cepat, dan keunggulan perjuangan bukan untuk yang kuat, juga roti bukan untuk yang berhikmat, kekayaan bukan untuk yang cerdas, dan karunia bukan untuk yang cerdik cendekia, karena waktu dan nasib dialami mereka semua.
12Karena manusia tidak mengetahui waktunya. Seperti ikan yang tertangkap dalam jala yang mencelakakan, dan seperti burung yang tertangkap dalam jerat, begitulah anak-anak manusia terjerat pada waktu yang malang, kalau hal itu menimpa mereka secara tiba-tiba.
Bacaan kita hari ini yakni ayat 11 dan 12 pasal 9 kitab Pengkhotbah adalah bagian yang tak terpisahkan dengan bacaan hari selasa menurut Sabda Bina Umat. Bacaan ini tidak dapat dipisahkan sebab pada ayat 11 dan 12 Pasal 9 ini dinyatakan Salomo sebagai penulis Kitab ini untuk menguatkan uraiannya tentang suatu pemahaman kesia-siaan dalam hidup. Keseluruhan perikop ayat 1-12 Pengkhotbah pasal 9 ini terbagi atas 3 bagian penting yang saling berhubungan dan memberi makna tentang hidup serta bagaimana menyikapinya.
Untuk lebih jelasnya, marilah kita memperhatikan seluruh perikop ini yakni mulai dari ayat 1 sampai 12 kitab Pengkhotbah pasal 9 dan menemukan tiga bagian besar dari 12 ayat tersebut. Tiga bagian penting itu adalah sbb:
1. Kesia-siaan dan harapan dalam hidup (ayat 1-6)
Dengan penuh pesimis, pengkhotbah mengatakan bahwa kehidupan di bawah matahari ini (kolong langit ini) selalau berakhir dengan sia-sia. Mengapa ia menyebut hidup ini adalah sia-sia? Sebab manusia pastilah akan mengalami kematian. Apapun yang dicapai dalam hidup tidak akan dibawah dan dinikmati seterusnya karena manusia pastilah akan mati. Dia meyakinkan kita bahwa kematian akan datang kepada semua orang tanpa terkecuali. Kematian terjadi baik kepada orang benar maupun orang jahat (Pkh. 9:1-3). Kematian adalah titik nadir, perwujudan dari semua kesia-siaan hidup dalam dunia. Menurut Salomo dalam ayat 1-3, bahwa siapapun kita entah baik atau benar, berdosa atau tidak, pastilah akan tetap menghadapi kematian itu. Dengan kata lain, apapaun yang dikerjakan dalam dunia ini dipandang menjadi sia-sia oleh karena kematian yang pasti datang.
Namun, dalam ayat 4, Pengkhotbah menyampaikan harapan di tengah kesia-sian akibat kematian yang pasti datang. Apakah harapan itu? Harapan yang dikatakan Salomo adalah harapan terhadap kehidupan. Kematian menjadikan sesuatu sia-sia, namun kehidupan menjadikan sesuatu itu memiliki harapan. Dalam ayat 4 ini, Pengkhotbah mengingatkan kepada kita bahwa ”anjing yang hidup lebih baik daripada singa yang mati.” Ukuran yang terkecil dari keberadaan seekor binatang yang hidup adalah lebih baik daripada ukuran yang terbesar dari sesuatu yang mati. Artinya selama masih ada kehidupan, masih ada waktu untuk bersiap bagi kematian. Itulah harapan dalam kehidupan.
Dengan kata lain, selama seseorang belum mengalami kematian, ia masih beroleh kesempatan untuk mengisi hidup untuk mencapai harapan yang ada. Mengisi kehidupan dengan baik adalah lebih berguna daripada meratapi kematian. Sekali lagi, ini menunjuk pada pentingyna menggunakan waktu kita di atas bumi untuk bersiap bagi kematian. Pada bagian pertama ini, Pengkhotbah menegaskan bahwa kehidupan di dunia ini pada akhirnya adalah kesia-siaan oleh karena semua mahkluk pastilah mati. Namun kesia-siaan dalam kehidupan ini akan tetap memberi harapan apabila kita yang masih hidup mampu mengisi dengan baik kehidupan ini.
2. Cara mengisi kehidupan agar terhindar dari kesia-siaan (ayat 7-10)
Jika kehidupan yang sia-sia ini masih memberi harapan apabila manusia yang masih hidup ini mampu mengisinya dengan baik, maka pertanyaan penting adalah: bagaimana mengisi kehidupan ini agar tidak sia-sia? Ayat 7-10 menjelaskan tentang cara mengisi kehidupan supaya lebih bermakna dalam harapan dari pada kesia-siaan. Dalam ayat 7-10 ini, kita menemukan Minimal ada tiga hal penting yang harus dilakukan oleh setiap orang selama masih ada kesempatan hidup di dunia ini, yakni:
Pertama, Nikmatilah Hidup ini sebagai berkat dari Tuhan. Bagi Salomo adalah lebih berguna menikmati hidup sebagai pemberian Allah, dari pada meratap dan mengalami ketakutan menanti kehidupan. Dalam ayat 7 dan ayat 9 Salomo memberikan contoh berkat Tuhan dalam kehidupan. Nikmatilah makanan dan minuman selama ada dalam kehidupan sebab itu adalah pemberian TUHAN Allah pencipta. Nikmatilah dengan penuh kebahagiaan karunia hidup sebagai makluk sosial yang bergaul dan saling membutuhkan satu dengan yang lain dalam dunia, seperti hidup berkeluarga, bermasyarakat dll. Itu juga adalah anugerah dan pemberian TUHAN. Nikmatilah dengan sukacita, nikmatilah dengan kebahagiaan hidup.
Kedua, Usahakanlah Kebahagiaan dan Sukacita dalam hidup ini. Dalam ayat 7 dan 9 bacaan kita, Pengkhotbah menyarankan untuk menikmati hidup ini dengan penuh kebahagiaan dan sukacita sebagai pemberiaan atau anugerah dari Tuhan. Namun dalam ayat 10 bacaan kita, pengkhotbah mengingatkan bahwa kebahagiaan dan sukacita dalam hidup sebagai anugerah Tuhan haruslah DIUSAHAKAN. Kebahagiaan tidak jatuh dari langit dan muncul tiba2 di bawah matahari ini. Kebahagiaan harus diusahakan oleh manusia. Itulah sebabnya ia menyarankan bahwa manusia perlu bekerja keras sekuat tenaga untuk menghadirkan kebahagiaan dan sukacita dalam hidup. Selagi masih hidup bekerjalah!! Selagi masih hidup usahakanlah kebahagiaan dan sukacita itu.
Ketiga, Hindarilah Dosa selama menikmati kehidupan ini. Dalam melaksanakan dua poin di atas, Pengkhotbah menegaskan dalam ayat 8 bacaan kita: “Biarlah selalu putih pakaianmu”. Artinya bahwa selama meniikmati hidup ini sebagai karunia Tuhan; dan selama bekerja dan mengusahakan kebahagiaan hidup, maka usahakanlah kebaikan dan janganlah mengotori putihnya hidup itu dengan kotoran dosa. Hidup disebut bahagia dan dapat dinikmati apabila selama menjalani dan mengisi hidup ini, manusia menjaga dirinya dan warna hidupnya agar tidak terkotori oleh dosa.
3. Manusia bukan faktor penentu dalam hidup (ayat 11-12)
Bagian ini adalah bagian ke-3 yakni ayat 11-12 bacaan kita hari ini. Pengkhotbah menyatakan suatu pemahaman yang baru tentang mengusahakan hidup supaya lebih bermakna. Dalam ayat 10 di atas, Pengkhotbah mengatakan bahwa manusia harus mengusahakan dengan sekuat tenaga agar membuat hidup memiliki harapan. Ada kesan bahwa manusia adalah faktor penentu kehidupannya sendiri. Itu berarti secara logika semakin banyak belajar, maka semakin pintar. Jika semakin pintar maka semakin mungkin memperoleh kekayaan; semakin cepat orang berlari dalam pertandingan, maka semakin mungkin menang perlombaan; semakin kuat seseorang, maka semakin mungkin menang dalam perjuangan.
Namun, perhatikan ayat 11-12 bacaan kita! Apa yang dipaparkan Pengkhotbah berbeda dengan penjelasan logika di atas. Menurut Pengkhotbah di ayat 11: kemenangan dalam lomba bukan bagi yang cepat; menang dalam perjuangan bukan bagi si kuat; kekayaan bukan untuk mereka yang cerdas. Bukankah pernyataan ini bertentangan dengan hal yang alami dan konsep logis yang rill?
Mengapa Pengkhotbah menyatakan sesuatu yang tidak lazim? Perhatikan alasannya dalam ayat 12: “Seperti ikan yang tertangkap dalam jala yang mencelakakan, dan seperti burung yang tertangkap dalam jerat,…” Menurut Pengkhotbah Keselamatan ikan bukan tergantung pada kelihaiannya berenang; dan kelangsungan hidup burung tidak ditentukan oleh kecepatan terbangnya. Ada faktor lain yang turut menentukan kehidupan mereka, yakni faktor diluar kendali dan kuasa mereka yaitu JALA dan JERAT. Faktor ini dapat kita sebut dengan Faktor X, yakni Faktor diluar kuasa dan kemampuan kita termasuk kasus burung dan ikan tadi.
Untuk memahami faktor X ini marilah kita merujuk Markus 4:26-27 yang berbunyi: “Lalu kata Yesus: "Beginilah hal Kerajaan Allah itu: seumpama orang yang menaburkan benih di tanah, lalu pada malam hari ia tidur dan pada siang hari ia bangun, dan benih itu mengeluarkan tunas dan tunas itu makin tinggi, bagaimana terjadinya tidak diketahui orang itu.” Tuhan Yesus menyebut Faktor X yang kita simpulkan dalam kitab Pengkhotbah tadi melalui perumpamaan tentang penabur. Siang dia menabur, malam dia tidur; siang di memberi pupuk dan malam dia tidur. Dan di saat malam dia tidak tidur, ternyata benih sedang berproses dalam tanah untuk mulai tumbuh. Saat petani tidak bekerja waktu malam, saat itulah terjadi pertumbuhan sehingga di siang hari, petani menemukan bahwa benih tanamannya sudah tumbuh. Proses bertumbuh benih ini diluar kendali si petani. Bisa saja walau dipupuk, benihnya busuk atau dimakan binatang. Intinya adalah kesuksesan dan keberhasilan hidup tidak tergantung pada andil manusia.
Kalau benar bahwa kesuksesan atau kegagalan hidup; dan keberhasilan atau kemalangan hidup tidak dapat ditentukan oleh faktor usaha dan kemampuan manusia seperti yang diungkapkan oleh Pengkhotbah dan dibenarkan oleh Tuhan Yesus melalui perumpamaanNya, maka pertanyaan penting untuk direnungi adalah faktor apa yang turut menentukan. Jawabnya Faktor X itu tadi. Kalau begitu apakah faktor X itu? Atau siapa faktor X yang misterius itu?
Untuk menemukan jawaban faktor X ini mari kita melihat pernyataan Paulus dalam 1Kor. 3:6 yang berbunyi: “Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan”. Penabur boleh menanam dan mengupayakan apapun soal pertumbuhan benih tanamannya, namun faktor penentu bertumbuh atau tidak benih itu dalah TUHAN. Tuhanlah yang menjadi faktor X penentu bertumbuh tidaknya beenih tanaman dari penabur tersebut.
Dengan demikian kita dapat memahami maksud Pengkhotbah dalam seluruh perikop pasal 9:1-10 ini. Bahwa dalam hidup ini penuh dengan kesia-siaan. Manusia hanya akan mampu berpengharapan dalam kehidupan yang sia-sia ini jika mampu mengisi kehidupan ini dengan baik, mau bekerja dan berusaha serta mengekang diri dari tindakan mengisi kehidupan dalam dosa. Inilah cara agar mampu berpengharapan dalam kehidupan yang penuh kesia-siaan tersebut. Namun, Pengkhotbah mengingatkan kita bahwa berhasil atau tidaknya kita memiliki pengharapan dalam hidup, tidak pernah ditentukan oleh usaha dan kemampuan kita. Ada faktor penentu yang sangat penting, yakni TUHAN, Allah kita.
Karena itu yang paling penting bukanlah memahamim bahwa ada kesia-siaan dalam hidup ini; bukan pula terpenting bagaimana mengisi kehidupan ini. Namun yang terutama dari semua itu adalah apakah TUHAN, Sang Penguasa kehidupan ini telah kita perhitungkan dan libatkan dalam menjalani hidup ini. Sebab sehebat apapaun kita mengusahakan hidup lebih baik, lebih bahagia, lebih sejahtera dll, hanya TUHAN jualah yang punya kuasa untuk menentukannya. Amin.
Terima kasih, bahan khotbah yang telah memberi inspirasi untuk menyusun khotbah PKP.
ReplyDeleteSalam,
Farida