BUKAN SEKEDAR ROTI DAN ANGGUR[1]
“Memaknai Arti Berbagi Roti dan Anggur dalam Sakramen Perjamuan Kudus
Sebagai Bentuk Kepedulian Gereja Terhadap Kemiskinan di Indonesia”
Oleh: Pdt. I Nyoman Djepun[2]
A. Pendahuluan (sebuah Realitas Konteks)
Tidur nyenyak saya di malam itu terganggu oleh dengungan sayap-sayap kecil milik beberapa ekor nyamuk yang menari girang di sekitar sepasang daun telinga seakan mewakilli senangnya hati mereka telah mendapatkan seper-sekian darah segar dari seorang pendeta muda yang datang dari kota memasuki pedalaman Kalimantan Timur pada bulan November 2004 itu. Pos Pelkes “Bethesda” Tonda (salah satu Pos Pelkes GPIB “Pelita Kasih” Sangatta -red) yang terletak di kecamatan Sandaran Kabupaten Kutai Timur, merupakan tempat saya melayani dan tidur di malam itu. Bukan hanya karena nyamuk, tetapi juga dinginnya udara malam yang menusuk tulang adalah faktor lain penyebab tak terlelapnya saya ketika memejamkan mata. Bukan juga karena sarung usang bau apek yang dipinjamkan “tuan rumah” waktu itu tidak mampu menghangatkan tubuh saya, namun karena rumah itu seakan sengaja mengundang angin malam masuk tanpa malu.
Mengapa tidak? Dinding rumah itu terbuat dari anyaman bambu muda yang hanya menutupi seperempat bagian dari tiap sisi rumah yang menempel dari dasar bangunan. Tidak ada kasur atau-pun dipan (tempat tidur -red) yang empuk untuk mengimbangi ketidak-nyamanan malam itu. Minggu paginya saya mempersiapkan diri untuk melayani ibadah minggu dan sekaligus melaksanakan Sakramen Perjamuan Kudus di bangunan gereja yang miring dan hampir roboh milik Pos Pelkes itu. Betapa terkejutnya saya ketika melihat beberapa jemaat laki-laki yang hanya mengenakan celana pendek usang tanpa baju menutupi dada bidang mereka, turut hadir mengikuti ibadah minggu yang akan dimulai. Dengan polos saya mendekati salah satu dari mereka dan berkata: “Pak, kalau ke gereja harus pakai baju, karena kita harus menghormati Tuhan dalam ibadah”. Dengan agak ragu dan segan, beliau menjawab: “Pak Pendeta, kaos yang sering saya pakai ke gereja masih basah, sudah tiga hari hujan terus, maaf pak”. Karena masih penasaran, saya menyambung lagi pembicaraannya: “Ya sudah tidak apa-apa, tapi tidak harus kaos itu kan yang di pakai? Pakai saja yang lain, yang penting tidak telanjang dada ke gereja”. Pria paruh baya itu mengangguk lemah dan menuju pintu keluar. Saya bangga karena berhasil memberikan pengertian kepadanya. Namun yang mengganggu saya, dari awal hingga akhir ibadah, bapak itu tidak pernah kembali ke gereja. Mungkin dia tersinggung, pikir saya.
Peristiwa ini saya ceritakan kepada kordinator pelkes dan beliau menjawab: “Pak Pendeta, dia tidak tersinggung kok. Hanya dia tidak mungkin kembali ke gereja lagi dengan menggunakan baju yang lain, sebab itulah baju satu-satunnya yang dia miliki. Baju satu-satunya, yang tidak pernah ia pakai selain ke gereja. Jika tidak pergi ke gereja maka dia selalu bertelanjang dada”. Saya terkejut, bahkan ragapun menjadi kaku, tidak percaya dengan apa yang didengar. Belum selesai rasa terkejut ini, beliau melanjutkan: “Rata-rata seluruh pria di sini hanya memiliki sehelai pakaian, kebetulan saya memiliki dua yang semuanya hasil pembagian GPID (Gereja Protestan Indonesia Donggala) pada empat tahun lalu.
Setiap selesai Sakramen Perjamuan Kudus, peristiwa itulah yang selalu teringat. Bukankah hal itu adalah salah satu Potret Kemiskinan di Indonesia, dan salah satu warna usang yang tertoreh di lukisan wajah pertiwi? Bukankah realitas konteks ini pula yang di hadapi gereja Tuhan di Indonesia? Apa yang sudah gereja lakukan bagi realitas konteks ini? Saya menemukan salah satu jawabannya dari Makna pelaksanaan Perjamuan Kudus yang sarat dengan ajakkan untuk berbagi dan peduli bagi orang lain yang miskin dan tak berdaya.
B. Makna Berbagi Roti dan Anggur dalam Perjamuan Kudus Pada Konteks Kemiskinan
Perjamuan Tuhan atau Perjamuan Kudus dilaksanakan umat Kristen berdasarkan “amanat Penetapan” Perjamuan Malam oleh Yesus. Ia berkata: “Perbuatlah ini sebagai tanda peringatan akan Aku” (bd. Luk.22:19; I Kor.11:25). Mengingat Yesus berarti tidak hanya mengingat pengorbananNya di kayu salib, melainkan juga perbuatanNya sebelum Ia di salibkan. Mengingat Dia, berarti mengingat dan meneladani segala pola hidup dan tindakanNya di dunia.
Sehubungan dengan pola hidup Yesus, Alkitab mencatat dan menyaksikan bagaimana Yesus hadir untuk berkarya bagi manusia. Ia datang untuk memberitakan kabar baik kepada orang-orang miskin, memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan memberikan penglihatan bagi orang-orang buta, membebaskan orang-orang tertindas, memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (lih. Luk.4:18-19; bnd. Yes.61:1-2). Disini terlihat bahwa Yesus membagikan sense of humanity-Nya kepada dunia. Ia membagikan “cinta Kasih-Nya” agar dirasakan dan dinikmati oleh siapa saja yang merasa haus akan kasih sayang. Perhatian-Nya terhadap keberadaan manusia dalam segala pergumulannya sangatlah tinggi. Sebab untuk itulah Ia relah menyerahkan tubuhNya (baca: diri-Nya) untuk dijadikan “tumbal” demi kebahagian manusia, yakni diselamatkan.
Memecahkan roti dan membagikannya dapat berarti pula sebagai tindakan membagi dan menyalurkan berkat Allah. Roti dan Anggur melambangkan kehidupan. Sebab Roti dan Anggur mewakili segala kebutuhan primer manusia, yakni kebutuhan akan pangan. Pangan adalah salah satu dari sekian banyak berkat Allah. Disaat membagikannya, disaat itu pula Ia sedang memberikan perhatian terhadap kebutuhan manusia. Pada tingkat paling mendasar Perjamuan Tuhan adalah berbagi makanan. Cara hidup jemaat yang pertama menurut Kis 2:41-47 menunjukkan akan hal itu. Mereka berkumpul memecahkan roti, dan makan bersama. Intinya mereka saling memperhatikan situasi dan keadaan sesamanya. Yesus berbagi roti dan anggur untuk menunjukan bahwa setiap orang entah pria atau wanita dapat menjadi saudara bagi yang lain lewat saling membagi. Dengan demikian orang-orang kristen membentuk persekutuan berdasarkan kasih persaudaraan yang di dalamnya terkandung kepedulian sosial.
Lebih jauh Paulus menggunakan dua istilah penting yang erat hubungannya ketika ia menyampaikan amanat penetapan Perjamuan Kudus Tuhan Yesus dalam 1Kor.11:23-26. Istilah yang dimaksud adalah paralambanw (paralambano) yang menerima dan paradidwmi (paradidomi) yang berarti meneruskan. Kedua istilah ini (menerima dan meneruskan) merupakan istilah yang dipakai untuk berbagi informasi atau berbagi sesuatu yang penting dalam rangka penyampaian pesan khusus. Berbagi Roti dan Anggur dalam Perjamuan Kudus bisa berarti pula berbagi pesan bagi umat Tuhan, bahwa Allah peduli dengan penderitaan manusia. Maka kegiatan berbagi Roti dan Anggur di dalam Gedung Gereja pada saat Perjamuan Kudus harusnya dilanjutkan dan diteruskan pula oleh Gereja Tuhan di tengah realitas konteksnya ketika sebelumnya “Roti” dan “Anggur” telah diterima Gereja dari Tuhannya. Roti dan Anggur yang dimaksud bisa berupa ‘kepedulian’, ‘rasa senasib’ atau ‘bela rasa’ yang diejahwantakan dalam metode pelayanan dan kesaksian sebagai bentuk solidaritas gereja terhadap berbagai potret kemiskinan di Indonesia, sebagaimana Kristus yang solider terhadap dunia.
Orang percaya (gereja) perlu melanjutkan misi Yesus di dalam dunia sebagai tanda “peringatan akan Dia”. Gereja harus bertindak sebagai pembebas bagi yang tertindas, memberitakan kabar baik bagi orang-orang miskin dan mengembangkan sikap peduli terhadap semua orang. Kepedulian terhadap keberadaan sesama manusia haruslah ditunjukkan sebagai implementasi dari Perjamuan Tuhan. Sebab pelaksanaan Perjamuan Tuhan sebagai tanda “Peringatan akan Dia”, sarat dengan makna kepedulian Allah bagi persoalan manusia termasuk di dalamnya kemiskinan. Bagaimana bentuk kongkrit keterlibatan gereja pada pengentasan kemiskinan di Indonesia sebagai bentuk penghayatan pelaksanaan Perjamuan Tuhan, masih menjadi Pekerjaan Rumah GPIB termasuk di dalam upaya menuangkan konsep tersebut dalam Tata Dasar GPIB nantinya.
No comments:
Post a Comment