P e n g a n t a r
Mari memulai materi ini dengan menyimak tulisan Khalil Gibran (1883-19931) yang dikutip oleh Andar Ismail[1] untuk menggambarkan tentang kehidupan keluarga, peran orang tua dan anak untuk memenuhi kehendak Allah:
“Anakmu sebenarnya bukan milikmu.Mereka adalah anak Sang Hidup yang mendambakan hidup mereka sendiri.
Mereka memang datang melalui kamu, tetapi mereka bukanlah milikmu. Engkau bisa memberi kasih sayang, tapi engkau tidak bisa memberikan pendirianmu, sebab mereka memiliki pendirian sendiri.
Engkau dapat memberikan tempat pijak bagi raganya, tapi tidak untuk jiwanya, sebab jiwa mereka ada di masa depan yang tidak bisa engkau capai sekalipun dalam mimpi…
Engkau adalah busur dari mana bagai anak panah, kehidupan anakmu melesat ke masa depan.
Sang Pemanah maha tahu sasaran bidikan keabadian. Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya, hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah, sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap.”
Filsuf pendidikan berkebangsaan Libanon ini yang kemudian menetap di Amerika serikat, menganalogikan para orang tua sebagai busur panah, anak sebagai anak panah dan yang berperan sebagai Sang Pemanah adalah Tuhan. Jika kita sedikit mengubah analogi ini dengan menempatkan keluarga, anggota-anggotanya dan Tuhan, maka ungkapan di atas dapat juga dimengerti sebagai berikut: Keluarga adalah busur Panah yang memiliki tugas utama untuk merentang kencang, tertarik dengan mantap, sehingga darinya anak panah dapat melesat jauh laksana kilat. Anak panah adalah tiap anggota keluarga yang memiliki tugas khusus meluncur cepat menuju bidikan keabadian, mendarat dengan mulus dan tepat sasaran.
Di mana peran Tuhan? Dia-lah Sang Pemanah Agung. Arah dan sasaran bidikan tidak pernah tergantung pada busur panah, apalagi anak panah. Keduanya sama-sama dituntun dan diarahkan menuju sasaran, tujuan yang dikehendaki Sang Pemanah. Keluarga dipanggil menjadi wadah tempat tersiapnya kekuatan bagi anak-anak panah, yakni tiap anggota keluarga, meluncur ke arah yang tepat sesuai kehendak sang pemanah. Setiap anggota keluarga memiliki panggilannya masing-masing yang hanya akan berhasil. dalam setiap liukannya mencapai sasaran, jika keluarga menjadi busur yang mantap.
Keluarga Sebagai Suatu Persekutuan
Keluarga adalah suatu persekutuan terkecil dari orang percaya yang harusnya tumbuh sebagai keluarga Kristen. Pemberian label “kristen” di dalamnya, ingin menunjukkan bahwa persekutuan terkecil orang percaya ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan keluarga-keluarga yang sudah dan akan ada di dunia. Penyebutan isitilah keluarga ingin juga mempertegas bahwa pertumbuhan iman tidak menjadi milik pribadi apalagi tumbuh secara pribadi namun secara bersama dalam satu ikatan.
Perhatikanlah bahwa bertumbuh sebagai keluarga -tidak sekadar secara pribadi- amat ditekankan oleh Alkitab.[2] Sebagai contoh; Kej.18:19 menyatakan: “…Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya." Kepada seluruh keluarga Allah mengikat perjanjian-Nya dan bukan hanya kepada satu pribadi. Bukan hanya kepada Abrahan Allah menuntut ketaatan dan mengikat perjanjianNya, namun kepada seluruh keluarga dan keturunanya.
Dalam Yosus 24:15 bertumbuh dalam kehidupan keluarga sebagai suatu persekutuan semakin dipertegas. Yosus mewakili suara keluarganya menyatakan: ”…Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” Hal ini menunjuk pada respon balik suatu keluarga dimana Allah mengikat perjanjianNya. Sebagai suatu persekutuan keluarga, umat yang percaya kepadanya mengikat janji untuk taat kepada Allah. Perhatikanlah bahwa ungkapan janji itu tidak dimulai secara pribadi namun dalam keutuhan suatu keluarga. Dengan kata lain pengalaman iman orang percaya tidak hanya digumuli, dihayati, dan dinikmati secara pribadi, melainkan menjadi “makanan” bersama, pengalaman bersama, bagi segenap anggota keluarga. Keluarga Kristen membentuk tiap anggota keluarganya dalam iman yang bertumbuh bersama sebagai suatu persekutuan yang indah di hadapan Tuhan. Itulah sebabnya keluarga Kristen disebut sebagai persekutuan terkecil orang percaya.
Istilah persekutuan berasal dari bah. Yunani Koinwnia (koinonia) dan memiliki kesetaraan dengan kata dasar yang lain koinwnew (koinoneo) yang berarti mendapat bagian; ikut bertanggung jawab; membagi.[3] Dengan demikian, persekutuan bukan hanya berarti kumpulan sekutu, atau upaya mencari sekutu atau teman dalam suatu ikatan tertentu, namun persekutuan memiliki arti dan makna yang lebih dalam. Orang percaya yang terikat dalam suatu persekutuan, adalah kumpulan pribadi yang menjadi bagian dari pribadi yang lain; ikut bertanggung jawab terhadap keutuhan bersama dan eksistensi orang lain. Perhatikan contoh kongkrit dari arti persekutuan itu yang ditunjukkan oleh jemaat mula-mula di Yerusalem (Kis.2:44-47).
Bayangkanlah betapa dalam arti dan makna persekutuan itu. Apa yang dialami dan dirasakan oleh orang lain, harusnya pula dapat dirasakan dan dialami oleh orang lain. Bukan soal simpati, namun empati. Bukan soal “melihat” sepatu orang lain, tapi juga turut memakainya supaya jika sempit ia rasakan sakitnya, jika kelonggaran ia rasakan pula kesulitannya. Keluarga yang adalah persekutuan orang percaya adalah wadah yang tepat untuk membentuk karateristik ideal tiap anggotanya seperti karateristik di atas. keluarga menjadi tempat “tumbuh bersama” tiap-tiap anggotanya sebagai orang percaya untuk memenuhi panggilan mereka mencapai target dan tujuan yang telah dirancangkan Allah.
Bayangkanlah jika suatu keluarga kristen tidak tumbuh sebagai suatu persekutuan orang percaya! Semua pasti berjalan sendiri-sendiri tanpa ada saling menopang, saling mendukung, saling membangun dan mengokohkan. Bayangkanlah jika keluarga kristen seperti itu! Pastilah tidak menjadi busur yang sempurna, yang tidak mampu merentang mantap sehingga anak-anak panah tak dapat melesat jauh ke depan.
Persekutuan Yang Melayani
Secara spesifik setiap anggota keluarga memiliki panggilannya masing-masing. Panggilan dimaksud terbingkai dalam Panggilan Gereja secara umum yakni bersekutu, bersaksi dan melayani yang juga merupakan panggilan setiap keluarga Kristen. Seperti diuraikan di atas, keluarga kristen adalah persekutuan terkecil dari orang percaya. Persekutuan orang percaya disebut juga Gereja, sehingga keluarga kristen adalah gereja terkecil (mungkin dari segi jumlah).
Arti gereja yang sebenarnya merujuk pada istilah Yunani ekklhsia (ekklesia) yang berarti: sidang, jemaat atau kumpulan[4]. Dengan demikian gereja tidak menunjuk pada suatu gedung sehingga memberi kesan mati, tapi pada kumpulan orangnya sehingga memberi kesan hidup, dapat bertumbuh dan membangun. Berbicara soal kumpulan orang berarti berbicara tentang banyak orang dan bukan satu pribadi saja. Sehingga melayani dilakukan dalam keutuhan persekutuan (orang percaya yang bersekutu) untuk menjalankan panggilannya.
Secara etimologi, isitilah ekklhsia (ekklesia) berasal dari dua suku kata yakni ek yang berarti keluar dari; dan kalew (kaleo) yang berarti: menamai, memanggil. Sehingga ekklesia atau gereja dapat berarti mereka yang dipanggil keluar dari -kegelapan menuju pada terangNya yang ajaib (1Ptr.2:9). Panggilan yang dimaksud adalah untuk melayani dan bersaksi sebagai suatu persekutuan orang percaya atau biasa disebut dengan tri panggilan gereja: Bersekutu, bersaksi dan melayani. Persekutuan yang melayani adalah persekutuan yang melaksanakan serentak dua dari tiga panggilan itu. Sebab keluarga yang mengambil bagian sebagai persekutuan orang percaya dengan sendirinya juga telah bersekutu. Sehingga ketika ia melaksanakan tugas melayani, maka keluarga Kristen tersebut sedang bersekutu dan melayani.
Dalam bukunya, Andar Ismail menguraikan tentang begitu banyak kebingungan arti dari kata melayani[5]. Antara lain sebagai berikut: Seorang pemuda mendapat tugas dari gereja dan ketika ongkos jalannya akan diganti oleh bendahara jemaat, pemuda itu menjawab: “Tak usah, ini pelayanan.” Di sini melayani berati melakukan sesuatu secara sukarela. Ketika ada yang meminta sumbangan untuk pembangunan gedung gereja, orang mengangguk dan berkata: “kita perlu melayani mereka.” Disini melayani berarti memberi sumbangan. Ketika Panitia Retreat tidak bekerja dengan maksimal, orang berkata, “Maklumlah namanya juga pelayanan.” Oh, Pelayanan di sini berarti tidak usah berkualitas. Ketika rapat Majelis Jemaat orang diminta, “Jangan santai-santai, ini pelayanan,” maka pelayanan di sini berarti melakukan dengan kesungguhan. Pada masyarakat umum, kata melayani pun memiliki banyak arti. Pelayanan di restoran ini memuaskan. Di sini pelayanan berarti makanannya lezat, cepat dihidangkan dan ramah; Mulut usil tidak usah dilayani. Di sini layani berarti digubris; Sebulan sekali mobil perlu di-service (terjemahan langsung: dilayani). Di sini melayani berarti ganti oli. Dan masih banyak lagi.
Salah satu istilah Yunani yang berpadanan dengan kata pelayanan adalah diakonia (diakonia)[6] yang berasal dari kata diakoneo yang berarti menyediakan makanan di meja untuk majikan. Orang yang melakukan itu disebut diakonos (pelayan). Dalam Perjanjian Baru kita menemukan beberapa pemahaman dan arti yang baru dari diakoneo ini. Yesus dalam Luk.22:26,27 memberi makna yang dalam dari kata melayani, yakni yang dilakukan pada orang yang justru lebih rendah dari kita. Dalam 1Ptr.4:10 dikatakan: “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah.” Melayani di sini berarti memanfaatkan semua kharisma (karunia) untuk kepentingan dan kebaikan orang lain. Paulus lebih jauh menyatakan bahwa bahwa pekerjaannya adalah suatu pelayanan (diakonia) dan dirinya adalah diakonos (pelayan) bagi Kristus (2Kor.11:23) dan bagi umat Allah (Kol. 1:25).
Dari uraian diatas kita dapat menyimpulkan makna dari kata melayani, yakni suatu upaya untuk hidup tidak untuk diri dan kepentingan sendiri melainkan hidup untuk Tuhan dan orang lain. Rasanya sulit memang untuk meng-ejahwantakan tugas melayani ini dalam kehidupan persekutuan dan masyarakat. Tetapi Yesus bukan hanya memerintahkan untuk melayani namun juga memberikan contoh suatu pelayanan yang sesungguhnya. Tidak sedikitpun dalam Alkitab, Yesus digambarkan sebagai tokoh yang selalu minta dilayani bagaikan tuan. Namun justru sebaliknya gaya hidup Yesus selama 33 tahun di dunia ini adalah gaya hidup seorang pelayan bahkan seorang hamba. Hidup menghamba dan melayani dilakoniNya hingga Ia naik ke Sorga.
Melayani bukan hanya berarti memenuhi jadwal pelayanan di gereja, menjadi diaken, penatua, pendeta, panitia komisi atau pengurus BPK. Melayani bukan berarti menjadi orang sibuk yang mengurus ini dan itu di berbagai tempat. Melayani adalah kerinduan untuk siap mengosongkan diri dan menempatkan diri di tempat yang paling bawah dari kepentinganTuhan dan orang lain[7]. Keluarga adalah persekutuan orang percaya yang disebut gereja. Gereja adalah pengikut Kristus. Jika keluarga Kristen adalah pengikut Kristus maka orang yang berjalan di belakang Yesus adalah mereka yang rela untuk melayani dan menghamba. Mentalitas pelayan dan hamba sebagai gaya hidup Yesus haruslah menjadi mentalitas setiap keluarga Kristen. Jika tidak demikian maka keluarga Kristen bukanlah persekutuan orang percaya yang melayani, melainkan hanya mengenakan label tempelen merek sedangkan isinya tidak sesuai.
Anak Panah Itu Siap Melesat
Siapa sebenarnya anak panah itu? Semua anggota keluarga (suami, istri, ortu, anak-anak, oma, opa, cucu, cicit, dll) adalah anak panah dan keluarga sebagai suatu lembaga adalah busurnya. Busur yang mantap memungkinkan anak panah melesat dengan cepat jauh ke depan menuju sasaran yang tepat. Sudah pasti setiap tembakan akan menuju pada sasaran yang tepat, sebab bukankah Sang Pemanah adalah Tuhan yang tidak pernah meleset? Namun busur panah harus siap merentang dengan kuat dan bersama dengan anak panah tidak menolak untuk diarahkan dengan tepat.
Jika keluarga Kristen menjadi Persekutuan yang melayani, terbentuk dan terbingkai dari mentalitas melayani dan menghamba dalam ikatan kebersamaan tali Kasih yang erat, maka dengan sendirinya tiap anggota keluarga akan menjadi “seperti” Yesus. Tidak harus menjadi Yesus (tidak ada yang bisa), tapi jadilah seperti Yesus dengan mengikuti teladanNya. Jika ini terjadi, maka Sang Pemanah Agung akan berkata: “anak-anak panah ini siap untuk melesat…”
[2] Eka Darmaputera: 365 Anak Tangga Menuju HIDUP berkemenangan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), hlm. 519.
[4] I b i d, hlm 50
[6] Ada juga istilah yang lain dengan arti yang sama yakni douleo yang berarti menghamba; leitourgeo yang berarti bekerja untuk kepentingan umum; dan latreuo yang berarti bekerja untuk mendapatkan gaji.
No comments:
Post a Comment